Gelap di Awal Terang Kemudian

Hila Bame

Wednesday, 01-09-2021 | 13:11 pm

MDN
KH Saifullah Ma`shum ( kanan) menyerahkan Tumpeng 15 tahun IKI kepada Dirjend Dukcapil Kemendagri, Keboncau, Lebak Sabtu (28/8/21) Foto: IKI/INAKORANCOM

 

Oleh: KH Saifullah Ma`shun

JAKARTA, INAKORAN

Sudah lebih setahun ini beberapa jaro, sebutan kepala desa dan ketua adat  masyarakat Baduy, pernah mengajukan semacam petisi kepada Presiden. Para tokoh adat itu minta agar kawasan Baduy dihapuskan dari peta wisata nasional. Ada apa gerangan?

Usulan ini muncul berkaitan dengan mulai tidak tertibnya pengunjung ke kawasan ini. Dan yang lebih menyinggung perasaan tetua adat Baduy, adalah foto-foto tempat tinggal suku Baduy Dalam beredar luas di laman-laman medsos sejak beberapa tahun terakhir.

Mempublikasikan kondisi lingkungan Baduy Dalam ke dunia luar adalah hal tabu.  Kepada setiap pengunjung yang mau berkunjung diwanti-wanti  agar tidak membawa peralatan elektronika dan kamera dalam jenis apa pun, termasuk HP.  Semua peralatan elektronika  harus disimpan di  sebuah saung yang terletak di depan jembatan pertama, sebelum memasuki kawan Baduy.

Dengan larangan itu agaknya berlakulah “hukum tantangan”: semakin dilarang  membawa alat perekam  pengunjung makin tertarik untuk bersiasat. Pengunjung yang memiliki dua HP pura-pura menyerahkan HP yang satu, sambil mengantungi HP yang lain di saku celana. Dan ketika sudah sampai di kawasan Baduy Dalam, yang bersangkutan mencuri-curi kesempatan merekam beberapa objek yang ada di kawasan yang sangat menyatu dengan alam itu. Siasat seperti inilah yang kemudian menghasilkan foto-foto kawasan tempat tinggal suku Baduy Dalam yang beredar luas di luar, yang membuat para tokoh adat suku Baduy prihatin.


BACA: 

Dirjend Dukcapil: Tiga Akselerator Mencapai Data Adminduk Akuntabel

 


Tetapi, pada hari Sabtu, 28 Agustus lalu, keprihatinan para tetua adat Baduy karena terusik oleh sikap wisatawan yang bandel, tidak tampak sama sekali. Penulis, bersama Dirjen Dukcapil Kemendagri, Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, MH, diterima dengan hangat oleh Jaro Alim dan Jaro Puun Cikeusik. Tak ada rasa bosan memandangi wajah kedua jaro ini. Meski usianya berkisar 65-70 an,  kulit muka tampak putih bersih, sehat dan segar. Begitu pun anggota tubuh yang lain. Kaki dan tangannya tampak kekar, meskipun dengan postur tubuh yang agak pendek. Kulit sehat dan putih kekuning-kuningan itu dibalut baju putih yang warnanya sudah pudar, dan udeng (ikat kepala) yang juga berwarna putih. Konon, baju itu dikenakan sepanjang usianya, dan tidak diganti kecuali jika sudah benar-benar rusak.

Jaro Puung biasanya jarang mau menerima tamu. Tetapi siang itu, sekitar jam 13.00, Jaro Puung yang tengah berada di huma (ladang) tampak terburu-buru pulang ke rumahnya, setelah dikabari ada tamu dari Jakarta. Silaturrahmi dengan kedua jaro didampingi Jaro urusan Pemerintahan, yang akrab dipanggil Jaro Saija dan Sekda Kabupaten Lebak, Santoso Ap. M.Si, yang juga bertindak menjadi penerjemah. Kedua Jaro, dengan sikap sangat ramah, menjawab setiap pertanyaan yang diajukan tamunya.


BACA:  

Albertus Pratomo: Transformasi IKI dan Dukungan Terhadap Program Disdukcapil

 


Pertemuan berlangsung di kediaman Jaro Puung, yaitu rumah adat yang  dikenal dengan Sulah Nyanda, sebuah bangunan sederhana berbahan anyaman  bambu, dan beratap ijuk daun kelapa yang sudah dikeringkan. Kami diterima di sebuah ruang los, tanpa sekat, yang berfungsi sebagai ruang tamu sekaligus ruang istirahat dan ruang keluarga. Ada satu ruang lagi sebagai dapur. Di sekeliling dinding anyaman bambu berjajar dandang, alat masak nasi terbuat dari tembaga ukuran tinggi satu meteran, berjumlah 20 buah yang disusun menjadi dua tingkat.

 

Selain dandang, juga ada dua tengkorak kijang yang menempel di kayu kusen, dan banyak tongkat dalam berbagai bentuk dan ukuran, yang diselipkan di atas plafon rumah.

Di ruang tamu ada sekitar 15-20 an mangkuk ukuran sedang, dan tempat air minum berbahan gerabah. Tidak ada cangkir atau gelas. Rupanya mangkuk ukuran sedang itulah peralatan minum di rumah ini. Siang itu dihadapan kami tersaji sekitar 10 piring ukuran sedang. Semua berisi gula aren yang sudah setengah dihancurkan menjadi seukuran kerikil.

“Ini air minum dari sungai yang sudah dimasak,” kata Jaro Alim. Tanpa ada kulkas, air minum yang disajikan oleh jaro terasa dingin.

Sungai yang disebut oleh Jaro Alim itu hanya berjarak 20 meter dari rumahnya. Tidak terlalu besar, tetapi airnya  sangat jernih dan mengalir sedikit deras. Sambil mengambil air wudhu, penulis beberapa kali meneguk air langsung dari sungai itu. 

Rumah adat Sulah Nyanda yang berada di kawan Baduy Dalam jumlahnya sekitar 40 buah. Setiap rumah dihuni satu kepala keluarga (KK), dan juga ada yang dua KK.

Saat pertama kali menginjakkan kaki ke dalam rumah Jaro Puung, tidak ada yang bisa dilihat kecuali warna hitam pekat karena gelapnya ruangan. Taka ada alat penerangan apa pun.

“Kita tenang dulu di sini. Nanti lama-lama susana akan berubah menjadi terang benderang,” tutur Pak Sekda Santoso yang asli Nganjuk, Jawa Timur itu.

Benar juga kata Sekda.  Selang kira-kira satu jam berbincang-bincang dengan kedua jaro, susana ruangan tampak terang. Boleh jadi ini efek proses adaptasi suasana yang sudah rampung. Berada di luar yang semula terang benderang oleh sinar matahari, kemudian gelap gulita saat awal memasuki rumah adat, kemudian penglihatan kembali normal setelah beberapa saat berada di dalam kegelapan.

Susana gelap berubah menjadi terang itu tidak hanya terjadi  berkenaan dengan suasana di rumah adat suku

Baduy Dalam. Tetapi juga berkaitan dengan pelayanan publik urusan dokumen kependudukan. Sebelum ini sering terdengar ketertutupan tradisi warga Baduy Dalam terhadap hal-hal yang berbau pemerintah atau orang luar. Sehingga hampir semua warga Baduy Dalam tidak memiliki dokumen kependudukan.

Tapi siang itu, stigma bahwa ketua adat suku Baduy Dalam melarang warganya memiliki dokumen kependudukan menjadi sirna. Di hadapan Dirjen Dukcapil, Jaro Alim dan Jaro Puung secara langsung menyatakan persetujuannya jika Pemerintah mau mengadakan pelayanan bagi warganya, masyarakat Baduy Dalam, untuk mendapatkan dokumen kependudukan.

Sore itu, rombongan Dirjen Dukcapil beserta rombongan IKI (Institut Kewarganegaran Indonesia), balik dari kawasan Baduy Dalam, dengan langkah enteng, meskipun menempuh perjalanan yang lumayan jauh, terjal  dan naik-turun. Wajah Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh yang bersimbah keringat itu tampak berseri-seri.

 

**) @ Saifullah Ma’shum. Tokoh NU, Peneliti senior Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI)

KOMENTAR