Google Dinyatakan Bersalah: Langgar UU Antimonopoli AS dalam Penggunaan Internet

Sifi Masdi

Thursday, 08-08-2024 | 15:11 pm

MDN
Ilustrasi Kantor Google [ist]


 

 

 

Jakarta, Inakoran

Putusan terbaru yang menyatakan Google bersalah dalam kasus monopoli pencarian internet diperkirakan akan membawa dampak besar, termasuk terhadap perusahaan teknologi lainnya seperti Microsoft, Apple dan Facebook

 

Laporan dari The New York Times pada Rabu (7/8/2024) mengingatkan pada tahun 2000, saat keputusan antimonopoli AS terhadap Microsoft menetapkan aturan persaingan bagi raksasa digital pada masa itu. Seorang hakim federal kala itu memutuskan bahwa Microsoft menyalahgunakan kekuatan monopoli sistem operasi Windows-nya dan memerintahkan agar perusahaan tersebut dipecah. Meskipun pemecahan tersebut dibatalkan melalui banding, temuan hukum utamanya tetap dipertahankan.

 

Setelah putusan itu, Microsoft dilarang memaksakan kontrak yang membatasi pada mitra industrinya dan diperintahkan untuk membuka sebagian teknologinya kepada pihak luar, sehingga mencegah perusahaan tersebut mengendalikan internet sendirian.

 

Lebih dari dua dekade kemudian, putusan dalam kasus antimonopoli Google menjanjikan untuk membentuk aturan baru bagi industri teknologi. Hakim Amit P. Mehta dari Pengadilan Distrik AS untuk Distrik Columbia memutuskan pada hari Senin (6/8/2024) bahwa Google melanggar undang-undang antimonopoli dengan mengekang pesaing dalam pencarian internet untuk melindungi monopolinya.

 

Putusan bersalah terhadap Google diperkirakan membawa dampak besar terhadap perusahaan teknologi lainnya yang merupakan pesaing Google. Saat ini, regulator AS juga menuduh Apple, Amazon, dan Meta (induk Facebook) melanggar undang-undang antimonopoli dengan mengunggulkan produk mereka sendiri pada platform yang mereka jalankan dan mengakuisisi pesaing yang lebih kecil.

 


 

BACA JUGA:

Masyarakat Indonesia: Rajin Main Media Sosial Tapi Malas Membaca

Google LLC Diminta Melakukan Reformasi Praktek Bisnis 

Pakar IT : Efek AI Generatif di Bursa Kerja Tak Begitu Signifikan

Apple Resmi Gunakan AI Milik Google

 


 

Putusan terhadap Google, serta kemungkinan ganti rugi yang akan diputuskan oleh Hakim Mehta, kemungkinan besar akan mempengaruhi kasus-kasus tersebut, termasuk gugatan kedua terhadap Google atas teknologi iklan, yang dijadwalkan akan disidangkan bulan depan.

 

Hakim Mehta menyatakan bahwa keputusan ini dapat menjadi "prediktor apa yang mungkin dilakukan pengadilan lain," kata Rebecca Haw Allensworth, seorang profesor hukum Universitas Vanderbilt yang mempelajari antimonopoli. "Anda juga dapat mengharapkan hakim lain untuk membaca pendapat ini dan terpengaruh olehnya," tambah Rebecca.

 

Pengaruh kasus antimonopoli Microsoft tampak jelas dalam keputusan Google. Dalam putusan setebal 277 halaman dari Hakim Mehta, Microsoft disebutkan sebanyak 104 kali, baik sebagai calon pesaing Google maupun sebagai preseden hukum.

 

 

 

 

Menanggapi putusan tersebut, Google mengatakan akan mengajukan banding. Pengadilan meminta Google dan pemerintah untuk membahas cara melanjutkan pencarian penyelesaian dalam kasus tersebut sebelum pertemuan dengan hakim pada tanggal 6 September mendatang.

 

Setelah bertahun-tahun penegakan hukum yang minim, aktivisme antimonopoli meningkat dalam beberapa tahun terakhir, pertama di bawah pemerintahan Trump dan kemudian di bawah pemerintahan Presiden Biden. Kepala penegakan hukum antimonopoli di Departemen Kehakiman dan Komisi Perdagangan Federal, Jonathan Kanter dan Lina Khan, telah menggugat raksasa teknologi lainnya atas tuduhan bahwa mereka adalah perusahaan monopoli yang terlibat dalam perilaku korporat ilegal.

 

Semua kasus tersebut bergantung pada Undang-Undang Antimonopoli Sherman abad ke-19, yang melarang perusahaan monopoli untuk terlibat dalam perilaku korporat yang menggagalkan persaingan. Namun, undang-undang tersebut, yang dirancang untuk perusahaan seperti Standard Oil, menghadapi tantangan dalam penerapannya di industri teknologi modern. Kedua lembaga tersebut berupaya menguji hukum lama dengan menerapkan argumen hukum baru terkait raksasa teknologi.

 

Persaingan Sehat di Era Digital

Dalam pidatonya pada tahun 2022, anggota Kongres Jonathan Kanter  menekankan pentingnya kasus besar untuk memastikan hukum tetap berjalan efektif. "Tanpa kasus besar, hukum akan mandek," ujarnya, seraya menekankan bahwa Kongres merancang hukum antimonopoli untuk diuji di pengadilan.

 

Pada tahun 1990-an, Microsoft menguasai pasar perangkat lunak dengan Windows yang mendominasi lebih dari 90 persen komputer pribadi. Namun, posisi dominannya diguncang ketika seorang hakim memutuskan bahwa Microsoft adalah monopoli, setelah terbukti berusaha menghancurkan Netscape, perusahaan peramban web. Microsoft menekan para pembuat PC agar tidak menawarkan peramban Netscape, yang akhirnya menyebabkan Microsoft dilarang membatasi kebebasan para pembuat PC dan dipaksa membuka sebagian teknologinya. Proses ini tidak hanya memakan waktu dan biaya, tetapi juga merusak citra publik Microsoft.

 

Profesor Fiona Scott Morton dari Universitas Yale mengatakan bahwa tindakan terhadap Microsoft membuka jalan bagi inovasi masa depan, dengan mencegah perusahaan tersebut mengendalikan pengembangan internet.

 

Baru-baru ini, kasus serupa terjadi pada Google. Hakim Mehta menemukan bahwa Google melanggar hukum melalui kesepakatan eksklusifnya dengan Apple dan perusahaan lain untuk menjadikan mesin pencari Google sebagai pilihan default. Meski memuji keterampilan teknik dan investasi Google, Hakim Mehta menyatakan bahwa Google memiliki keuntungan besar yang tidak terlihat dibandingkan para pesaingnya.

 

Bill Baer, mantan pejabat antimonopoli di Departemen Kehakiman, menegaskan pentingnya putusan ini karena menunjukkan bahwa dominasi tidak boleh disalahgunakan. Tidak seperti Microsoft, Google adalah perusahaan internet murni yang mengandalkan iklan sebagai model bisnis utama.

 

Google telah mengeluarkan lebih dari $26 miliar pada tahun 2021 untuk memastikan perangkat lunaknya menjadi default, menunjukkan betapa pentingnya data pengguna. Data ini digunakan untuk meningkatkan hasil pencarian, menarik lebih banyak pengguna, dan menghasilkan lebih banyak data lagi. Hakim Mehta menekankan bahwa data pengguna adalah elemen penting yang meningkatkan kualitas pencarian pada setiap tahap.

 

Perilaku konsumen yang cenderung tidak mengubah pengaturan default menjadi kunci bagi strategi Google. Antonio Rangel, profesor dari Caltech, menjelaskan bahwa sebagian besar pencarian dilakukan karena kebiasaan, bukan karena pemaksaan.

 

Di pengadilan, Google berargumen bahwa mesin pencarinya unggul karena kualitas produk dan data hanyalah salah satu aspek. Namun, pembayaran besar untuk distribusi menunjukkan bahwa Google berusaha memastikan dominasinya di pasar. Herbert Hovenkamp, ahli antimonopoli dari Universitas Pennsylvania, menyebut narasi pemerintah cukup meyakinkan.

 

Hakim Mehta kini harus memutuskan langkah-langkah untuk membuka pasar pencarian bagi kompetisi yang lebih besar. Rekomendasi para ahli antimonopoli mencakup pelarangan kesepakatan eksklusif, berbagi data pencarian dengan pesaing, hingga pemisahan peramban Google Chrome atau sistem operasi Android. 

 

Nancy Rose, ekonom dari MIT, menyebut kasus ini sebagai yang pertama dan paling signifikan terhadap salah satu perusahaan digital dominan, menunjukkan pentingnya menjaga persaingan sehat di era digital.

KOMENTAR