Harga Minyak Dunia Naik: Dampak Eskalasi Perang Rusia–Ukraina

Jakarta, Inakoran
Harga minyak dunia kembali menguat lebih dari US$1 per barel pada Kamis (11/9/2025), seiring meningkatnya ketegangan geopolitik di Eropa Timur. Meski demikian, kenaikan harga ini masih dibatasi oleh data lonjakan persediaan minyak di Amerika Serikat (AS).
Mengutip Reuters, harga minyak berjangka Brent naik US$1,10 atau 1,7% menjadi US$67,49 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS turut menguat US$1,04 atau 1,7% ke posisi US$63,67 per barel.
Kenaikan ini melanjutkan reli harga yang sempat terjadi sehari sebelumnya, ketika minyak naik 0,6% setelah Israel mengklaim melakukan serangan terhadap pimpinan Hamas di Doha, Qatar.
Lonjakan harga minyak terutama dipicu oleh kabar Polandia menembak jatuh drone Rusia di wilayah udaranya. Aksi tersebut terjadi ketika Moskow melancarkan serangan besar ke Ukraina barat. Peristiwa ini menandai pertama kalinya negara anggota NATO secara langsung melepaskan tembakan dalam konflik Rusia–Ukraina, sehingga menambah tensi geopolitik di kawasan.
Meski harga sempat melonjak hampir 2% usai kabar ini, analis menilai belum ada ancaman langsung terhadap pasokan minyak global. “Premi risiko geopolitik pada minyak biasanya tidak bertahan lama kecuali benar-benar terjadi gangguan pasokan,” tulis analis SEB dalam laporannya.
BACA JUGA:
Harga Emas Dekati Rekor Tertinggi: Dipicu Prospek Pemangkasan Suku Bunga The Fed
Rekomendasi Saham Pilihan: Kamis (11/9/2025)
Harga Minyak Naik: OPEC+ Putuskan Kenaikan Produksi Secara Moderat
Dinamika Politik Global
Situasi pasar energi juga diperumit oleh kebijakan politik global. Presiden AS Donald Trump mendesak Uni Eropa agar memberlakukan tarif 100% terhadap China dan India—dua pembeli utama minyak Rusia—sebagai tekanan tambahan bagi Moskow.
Sementara itu, Komisi Eropa melalui Ursula von der Leyen menyatakan sedang mempertimbangkan percepatan penghentian impor bahan bakar fosil Rusia sebagai bagian dari sanksi baru. Namun, sumber internal Uni Eropa menilai kemungkinan blok tersebut mengenakan tarif besar terhadap India dan China masih sangat kecil.
Dari sisi makroekonomi, pasar menaruh perhatian pada pertemuan The Fed tanggal 16–17 September. Ekspektasi pemangkasan suku bunga diperkirakan bisa mendorong aktivitas ekonomi, yang pada akhirnya meningkatkan permintaan energi global.
Menteri Energi AS Chris Wright juga menilai pertumbuhan ekonomi global dalam beberapa tahun ke depan berpotensi meningkatkan konsumsi minyak, meskipun produksi domestik AS bisa mengalami stagnasi sementara waktu.
Di sisi lain, data Energy Information Administration (EIA) menunjukkan lonjakan besar pada persediaan minyak mentah AS, yakni naik 3,9 juta barel pada pekan yang berakhir 5 September. Angka ini berlawanan dengan perkiraan analis yang memprediksi penurunan 1 juta barel.
Stok bensin juga bertambah 1,5 juta barel, jauh di atas ekspektasi penurunan 200.000 barel. Persediaan distilat, termasuk solar dan minyak pemanas, bahkan melonjak 4,7 juta barel—padahal konsensus hanya memperkirakan kenaikan tipis 35.000 barel.
John Kilduff, partner di Again Capital, menyebut laporan EIA tersebut sebagai sinyal bearish. “Kenaikan stok minyak mentah dan bensin menunjukkan permintaan yang melemah. Pasar kini menunggu seberapa besar penurunan konsumsi bensin setelah berakhirnya musim libur mengemudi musim panas di AS, dan tampaknya cukup signifikan,” jelasnya.
Kilduff menambahkan, lemahnya permintaan bensin dan rendahnya ekspor minyak AS dapat mencerminkan perlambatan ekonomi domestik, bahkan bisa berdampak global. Sebelumnya, EIA juga memperingatkan harga minyak dunia masih berisiko tertekan dalam beberapa bulan mendatang akibat peningkatan pasokan dari OPEC+, termasuk Rusia.
KOMENTAR