Hati-Hati Rumuskan Pasal RKUHP, Jangan Sampai Hambat Pariwisata dan Dunia Usaha

Sifi Masdi

Thursday, 14-11-2019 | 21:35 pm

MDN
Pengamat Masalah Kebangsaan Tjoki Aprianda Siregar [inakoran.com]

Jakarta, Inako

Beberapa pasal dalam RUU KUHP berpotensi memicu multi tafsir, dan apabila tidak hati-hati dalam penerapannya justru akan berpotensi pula menghambat pengembangan sektor pariwisata di Indonesia. Padahal saat ini Indonesia tengah menggalakkan promosi pariwisata, selain investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi seperti pernah disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Simak video InaTv terkait RUU KUHP tentang korporasi sebagai subjek tindak pidana dan jangan lupa klik "subscribe and like".

 

Terkait sektor pariwisata, salah satu pasal dalam RKUHP yang bersinggungan adalah Pasal 147 RUU KUHP tentang Kumpul Kebo atau Kohabitasi.

Isi lengkap Pasal 147 RKUHP: (1) Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II (denda Rp 10 juta); (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua, atau anaknya; (3).Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30; (4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

Sejauhmana implikasi Pasal 147 di atas bila sudah disahkan menjadi KUHP terhadap dunia usaha, terutama di sektor pariwisata? Pengamat Masalah Kebangsaan, Tjoki Aprianda Siregar, mengakui penerapan pasal ini akan berdampak pada kunjungan wisatawan asing ke Bali, yang sebagian adalah wisatawan dari negara-negara Barat, pasangan laki dan perempuan bukan suami-isteri. Ia khawatir jumlah turis asing yang datang ke Bali akan semakin berkurang.

Ilustrasi pasangan kumpul kebo [ist]

 

“Saya khawatir penerapan pasal ini akan berdampak terhadap objek-objek wisata seperti Bali. Kita tahu selama ini banyak turis asing yang datang ke Bali. Saya lihat kebiasaan mereka, dan mungkin itu juga sebagai bagian dari pola hidup mereka atau budaya mereka. Umumnya mereka datang ke Bali dengan pasangannya, tapi bukan pasangan suami-istri. Mungkin saja mereka bertunangan atau belum mengikat hubungan suami-isteri, tapi namanya budaya Barat, sudah berhubungan sedemikian jauh dan ingin berlibur ke Bali. Saya khawatir apabila  pasangan wisatawan negara Barat yang statusnya belum suami-isteri ini dikenakan pasal perzinaan, artinya tanpa ada pasal atau klausula khusus dalam RKUHP, maka turis asing yang datang ke Bali, terutama dari negara-negara Barat akan berkurang. Padahal turis asing yang paling banyak datang ke Bali antara lain berasal dari Australia, kata Tjoki dalam perbincangan dengan inakoran.com, di Jakarta, Selasa (12/11) di Hotel Crowne Plaza.

Namun Tjoki mengakui bahwa sebagai  seorang muslim dirinya tidak menyetujui adanya zinah. Namun untuk tetap menjadikan Bali sebagai salah satu destinasi wisata utama dunia, ia pun mengusulkan perlu ada pasal atau klausula khusus berisi pengecualian, termasuk misalnya dengan pemberlakuan syarat-syarat yang ketat. Bagaimana bentuk rumusan pengecualian dalam KUHP yang baru nanti, ia menyerahkan sepenuh  rumusannya kepada DPR dan pemerintah serta para stakeholders. Karena itu, sebelum disahkan jadi KUHP maka DPR dan para stakeholders untuk duduk bersama.

“Tentu di sini dituntut kebesaran hati dari semua pihak. Kalau boleh saya usulkan agar pengecualian pasal perzinahan atau kumpul kebo ini hanya berlaku untuk orang asing dan untuk tujuan berwisata ke destinasi wisata tertentu. Saya berharap ada klausul-klausul tertentu yang menyebutkan, misalnya objek-objek wisata yang dikunjungi oleh wisatawan dari negara-negara Barat, mungkin perlu mendapat pengecualian,” tegas Pengamat Masalah Kebangsaan ini.

Selain itu, demi mendukung keberlangsungan dunia usaha di Indonesia, Tjoki  mengusulkan agar pasal-pasal dalam RKUHP yang berdampak langsung terhadap kegiatan pariwisata dan investasi, dibuat lebih lentur atau fleksibel. Misalnya dengan memuat pula klausula pengecualian, sehingga dalam penerapannya, tidak ada "ruang abu-abu", dan aparat penegak hukum tidak ragu dalam menyikapi atau bertindak.

Ilustrasi wisatawan asing di Bali [ist]

 

Tjoki juga meminta agar semua pasal yang sudah dicantumkan dalam RKUHP, terutama pasal yang mengandung multi tafsir dikaji lebih mendalam. Dalam melakukan kajian, diharapkan pihak terkait sebaiknya mengajak akademisi dan pemangku kepentingan. Kemudian terkait pasal-pasal yang bersentuhan dengan dunia usaha, maka perlu melibatkan pelaku usaha, Kadin, dan asosiasi bisnis dalam diskusi.

“Buatlah kajian dan telaah bagaimana dampak pasal demi pasal terhadap dunia usaha. Memang membutuhkan waktu yang agak panjang, tapi hasilnya saya yakin lebih baik, kalau dikaji lebih mendalam” tegasnya.

Menurut Tjoki, tujuan peninjauan kembali pasal-pasal dalam RKUHP adalah agar tidak menimbulkan multi tafsir. “Kalau bisa diupayakan agar nuansa multi tafsir sangat kecil. Atau bahkan tidak ada lagi nuansa multi tafsir,” tuturnya.

 

KOMENTAR