Hindari Potensi Konflik, RUU Omnibus Law Cipta Kerja Perlu Dikaji Lebih Mendalam

Sifi Masdi

Friday, 13-03-2020 | 13:35 pm

MDN
Praktisi Hukum Amsori [dok:pribadi]

Jakarta, Inako

Ketua Umum Perkumpulan Politisi Muda Indonesia (PPMI) Amsori mengatakan DPR perlu meninjau  kembali sejumlah pasal yang dianggap kontroversial dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja sehingga tidak menimbulkan konflik di tengah masyarakat.

Amsori mengakui bahwa semangat  Omnibus Law Cipta Kerja adalah bertitik tolak dari evaluasi periode pertama Pemerintah Presiden Joko Widodo dalam rangka mempermudah investasi dari luar negeri masuk Indonesia.  Dalam pidato pelantikannya, Presiden Jokowi mengungkapkan soal pentingnya penyederhanaan aturan. Karena itu, Jokowi mengajak DPR untuk menerbitkan undang-undang baru untuk membantu mempermudah kegiatan investasi.

Simak video Inatv dan jangan lupa klik "subscribe and like" menuju Indonesia maju.

 

“Segala bentuk kendala regulasi harus kita sederhanakan, harus kita potong, harus kita pangkas. Pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang besar. Yang pertama, UU Cipta Lapangan Kerja. Yang kedua, UU Pemberdayaan UMKM. Masing-masing UU tersebut akan menjadi Omnibus Law, yaitu satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU, bahkan puluhan UU” kata Presiden Jokowi dalam pidatonya di depan anggota DPR di Senayan, Jakarta.

Menurut Amsori, RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang sudah diserahkan ke DPR perlu dikaji ulang oleh DPR pasa demi pasal. Sejumlah pasal yang ditinjau ulang adalah pasal yang memicu potensi kontroversi. 

“Apabila terjadi ketidakadilan dan keseimbangan di masyarakat bawah, maka bisa mengakibatkan demonstrasi berupa penolakan omnibus law yang akan terjadi dibeberapa tempat secara massif,” kata Amsori dalam pesan tertulisnya kepada Inakoran.com, Jumat (13/3/2020).

Tujuan Omnibus Law Cipta Kerja, kata Amsori, adalah upaya penciptaan kerja dengan memberikan kemudahan berusaha, perlindungan, dan pemberdayaan, usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi pemerintah pusat, serta percepatan proyek strategis nasional.

Amsori menambahkan RUU harus disosialisasikan kepada masyarakat sehingga rakyat memahami latar belakang filosofis, sosiologis dan yuridis penyusunan RUU ini.

“Ada banyak isu yang dibahas di dalamnya, termasuk banyak juga catatan merah pada sejumlah pasal, antara lain, pasal terkait peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, ketenagakerjaan, pendidikan dan kebudayaan, pengadaan lahan, perikanan dan kelautan, pertanian dan perkebunan, peternakan, perdagangan, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, perbankan syariah, dan sebagainya,” tegasnya.

Sebagai praktisi hukum, Amsori menyoroti  sejumlah pasal yang terkait dengan bidang ketenagakerjaan seperti upah minimum, pesangon PHK, status karyawan kontrak, tenaga outsourcing, ijin kerja tenaga kerja asing (TKA), dan lainnya. Menurut Amsori, pasal-pasal ini perlu dikaji ulang.

Selain itu, Amsori juga menyoroti pasal yang berhubungan dengan dunia pendidikan. Hal yang patut dicermati di situ adalah soal lembaga pendidikan asing yang bisa menyelenggarakan pendidikan di Indonesia dan tidak mewajibkan Guru dan Dosen dari negara lain untuk memiliki sertifikat pendidik jika ingin mengajar di Indonesia, hal itu berlaku bagi guru dan dosen lulusan perguruan tinggi negara lain yang terakreditasi.

Pasal ini mengubah ketentuan dalam Pasal 8 dan Pasal 45 UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, mengenai kewajiban Guru dan Dosen untuk memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Namun, Sertifikat Pendidik tidak wajib dimiliki oleh Guru dan Dosen yang berasal dari lulusan perguruan tinggi lembaga negara lain yang terakreditasi.

“Terkait dengan pasal kontroversial itu, perlu dikawal terus proses penyusunan sampai pengesahan undang-undang yang menjamin terlindunginya kepentingan rakyat,” tegasnya.


 

 

KOMENTAR