INDRAMAYU BEBERES APA?, ANALISIS KEPEMIMPINAN POLITIK

Hila Bame

Wednesday, 26-03-2025 | 15:06 pm

MDN



Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan.

JAKARTA, INAKORAN


Judul tulisan di atas kutipan dari pertanyaan seorang "netizen",Wahyudi, warga Indramayu, seorang aktivis yang kini tekun menjadi petani tebu. Ia menulis  di akun "Facebook" miliknya (27 /2/2025) begini :

"Indramayu beberes apa? Gubernur Jawa Barat belum 100 hari sudah banyak sektor yang diberesi, misal sektor pendidikan. Jabar Istimewa dibuktikan dengan kerja nyata tidak hanya slogan. Bagaimana kabar dengan Indramayu beberes? Wacana atau aksi nyata?", tulisnya.

Tentu tidak "apple to apple" alias tidak "setara" membandingkan Dedi Mulyadi dan Lucky Hakim dalam perspektif perbandingan hirarkhi jabatan. Dedi Mulyadi di level Gubernur Jawa Barat sementara Lucky Hakim adalah level Bupati Indramayu. 

Di sisi lain, memang belum ada.gebrakan "beberes" yang "bernyali" kecuali "Wara Wiri" seremonial, tidak ada terobosan kebijakan yang menghentak kesadaran kerja birokratis secara transformatif, mendasar dan paradigmatik  sebagaimana keberanian "nyali"  Dedi Mulyadi memimpin Jawa Barat.

Di era media sosial pembandingan Wahyudi di atas "sah", bahkan relevan untuk memacu"keunggulan kompetitif" dalam kepemimpinan politik, sebuah pembandingan yang juga dilakukan seorang pengamat terhadap Walikota Tasikmalaya yang cenderung seremonial, rutin dan protokoler dibanding Dedi Mulyadi yang taktis dan "sat set" ("Radar tasik",23/3/2025).

Inilah fenomena kepemimpinan politik Dedi Mulyadi di Jawa Barat, "non protokoler" dan "sat set" telah membentuk persepsi publik di mana rakyat menilai pemimpin daerahnya tidak ibarat "katak dalam tempurung" melainkan dalam perspektif kepemimpinan politik lebih luas dan berbobot "nilai", pemimpin taktis, "sat set" dan tidak seremonial menjual citra. 

Artinya, menjadi bupati "existing", yakni bupati yang sedang menjabat jelas berbeda posisional dengan menjadi calon bupati saat masa masa indah kampanye. Masa kampanye bagi calon bupati "menjual mimpi" dan citra ke publik sementara  tugas bupati yang sedang menjabat adalah "tunaikan janji" dalam realitas kehidupan nyata secara terukur. 

 "Selamat datang kepala daerah, anda tak lagi berada di dunia citra tapi sudah masuk ke panggung nyata. Kemiskinan tidak bisa dihapus hanya dengan acting yang disorot kamera", tulis Suntana, akademisi, di kolom  "kompas" (14/2/2025) - mengingatkan tugas dan tanggung jawab bupati (kepala daerah). 

Di sinilah tugas bupati bukan bagaimana publik diframing puas atas tampilan aksesoris politik "kulit luar" lalu dilegitimasi oleh survey kepuasan publik melainkan  bagaimana seorang bupati berfikir dan bertindak di mana out-nya dalam kinerja kelak diukur dalam angka angka BPS (Badan Pusat Statistik) secara akuntabel. 

Dalam konteks itu penting meletakkan Indramayu pada kekuatannya sebagai daerah agraris, sebuah kota menengah, tidak perlu disulap sulap dalam lamunan narasi  bahwa Indramayu seolah olah kota besar dengan pabrik pabrik padat karya yang berlimpah. Itu bukan Indramayu.

Dengan kata lain,kenalilah Indramayu dalam perspektif sosiologis dan demografi populasi penduduknya dengan segala karakter, tradisi dan kekuatan sosial nya, tidak perlu mendesain Indramayu dengan cara berbohong karena dari sanalah rancang bangun "beberes" Indramayu dikonstruksikan.

Itulah sebabnya pemimpin harus "Siddiq", jujur, berintegritas, tidak jual beli jabatan lewat tangan tangan "preman politik" dan tidak "flexing" pamer kepalsuan. Karena kejujuran itulah hulu dari segala muara kebaikan dan maslahat publik (Hadist) 

Dalam peribahasa lama seorang pemimpin jangan pernah menyembunyikan kebohongan dan kepalsuan karena "sepandai pandai tupai melompat akan jatuh juga". Berkali kali sejarah telah membuktikannya. 


 

 

TAG#ADLAN

193396340

KOMENTAR