Ini Dampak Perang Dagang AS-Uni Eropa Bagi Indonesia

Sifi Masdi

Monday, 07-10-2019 | 20:45 pm

MDN
Ilustrasi perang dagang AS-Uni Eropa [ist]

Jakarta, Inako

Perang dagang tidak hanya melibatkan Amerika Serikat (AS) dengan China, tetapi saat ini sudah merambat hingga ke Uni Eropa. Genderang perang dagang antara AS dan Uni Eropa dimulai ketika Presiden AS Donald Trump berencana mengenakan tarif sebesar 10% pada pesawat Airbus dan tarif 25% pada produk asal Eropa seperti wine Prancis, wiski, keju, dan lainnya dengan nilai mencapai US$ 7,5 miliar pada produk ekspor negeri Benua Biru tersebut.

Rencana tersebut dikabarkan sudah direstui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas kasus pemberian subsidi ilegal pemerintah UE terhadap maskapai Airbus.  Hal ini tentu saja membuat hubungan AS-Uni Eropa makin memanas.

Bagaimana dampak perang dagang AS-Uni Eropa terhadap Indoensia? Ekonom Bank Permata Josua Pardede memandang, memanasnya tensi dagang antara AS dan Uni Eropa berpotensi menekan pertumbuhan kawasan Eropa lebih dalam lagi. 

Padahal, kinerja perekonomian dan industri manufaktur negara ekonomi utama Eropa seperti Inggris dan Jerman di paruh pertama tahun ini sudah menunjukkan perlambatan. 

Efek domino perang dagang AS-Uni Eropa tak bisa terhindarkan dari Indonesia.  “Sebab Uni Eropa masuk dalam lima besar negara tujuan ekspor kita selama ini. Tekanan perekonomian Eropa pasti berdampak pada kinerja perdagangan eksternal Indonesia yang sejauh ini juga sudah tertekan,” tutur Josua kepada wartawan, Senin (7/10). 

Sekedar diketahui, pertumbuhan ekspor nonmigas Indonesia ke Eropa bahkan sudah turun 17% yoy atau senilai US$ 9,58 miliar sepanjang Januari-Agustus 2019. Sementara impor barang nonmigas dari Eropa juga turun 13,75% dengan nilai US$ 8,27 miliar pada periode yang sama. 

Dengan dinamika hubungan dagang antar negara-negara besar tersebut, Josua khawatir kinerja ekspor Indonesia akan terus mengalami kontraksi sampai akhir tahun. 

Begitu juga dengan investasi riil secara global masih akan tertahan sehingga belum mampu menjadi pendorong pertumbuhan domestik tahun ini. 

Josua menilai pemerintah harus semakin cepat merespons dan mengambil kebijakan terkait dinamika risiko perekonomian saat ini. 
 

 

KOMENTAR