Ketika Adat Dan Agama Hadir Bersama Di Kampung Wangkar – Manggarai Timur

Binsar

Wednesday, 11-07-2018 | 15:25 pm

MDN
Kepok Tiba Sanggar Compang Pembe Yang Turut Memeriahkan Pesta Adat Kampung Wangkar [Foto: Popin]

Wangkar, sebuah kampung di Desa Rana Mese, kabupaten Manggarai Timur punya cara sendiri menangkal ekses negatif kemajuan teknologi komunikasi. Kehadiran gadget yang mengakibatkan melemahnya komunikasi dan interaksi komunal coba dihadang dengan memperkuat kehidupan beragama sekaligus melestarikan tradisi dalam budaya setempat.

Salah satu momen penting adalah perayaan ulang tahun kapela (tempat ibadah umat Katolik) yang dirayakan setiap tanggal 28 Juni. Atas inisiatif  Rofinus Musdin, salah seorang tokoh masyarakat di Kampung Wangkar, sejak tahun 2014 ulang tahun kapela dibarengi dengan pesta adat. Jadilah perayaan umat Katolik berkenaan dengan ulang tahun kapela menjadi sebuah inkulturasi antara gereja Katolik dan kebudayaan masyarakat kampung Wangkar.

Selain perayaan berbentuk inkulturasi diadkan pula berbagai jenis kompetisi seperti pertandingan futsal tingkat anak-anak dan remaja, pertandingan bolla volly, lomba menyanyi tingkat anak-anak, lomba membaca kitab suci, lomba cerdas cermat tentang budaya, lomba mbata( nyanyian berkelompok membentuk sebuah lingkaran dengan diiringan irama gendang dan gong), danding (nyanyian berkelompok dengan membentuk lingkaran dan dinyanyikan secara bergantian oleh kelompok laki-laki dan perempun), tombo nengon (cerita dongeng). Rangkaian kegiatan ini pada hakekatnya memberikan edukasi budaya serta agama terhadap generasi penerus khususnya anak muda. Dalam perayaan ekaristi yang diadakan sebagai puncak perayaan umat yang hadir mengenakan drescode adat dan bahasa Manggarai. Selama 3 tahun pelaksanaannya masyarakat kampung Wangkar menyambut antusias kegiatan ini, bahkan para pengunjung dari luar kampung pun berdatangan.

 

Rofinus Musdin sebagai inisiator pesta adat kampung Wangkar [Foto: Popin]

 

Ulang tahun kapela dan pesta adat kampung Wangkar ini  dimulai dengan pembukaan di Compang oleh tua teno (kepala adat), pemuka adat kampung wangkar serta tokoh-tokoh agama. Menurut Rofinus Musdin kegiatan ini bertujuan untuk mensyukuri segala sesuatu yang telah mereka terima khususnya hasil panen serta nilai-nilai adat yang menghidupkan.

Acara ini menjadi ajang bertemu kembali sanak keluarga yang sudah berkeluarga dan berdomisili di tempat lain. Setelah lama tidak bertemu mereka dapat mencurahkan kembali rasa rindu mereka dengan bersilaturahmi ke setiap rumah sambil menikmati jamuan khas Manggarai Timur kopi pai’t, karena hukumnya wajib bagi seluruh sanak keluarga dari kampung Wangkar yang berdomisili di tempat lain untuk kembali ke kampung ketika acara ini berlangsung kecuali bagi sanak keluarga yang terpisahkan oleh jarak dan waktu.  Mereka datang dengan membawa atribut-atribut sebagaimana lazimnya. Anak wina(keluarga dari anak perempuan yang sudah berkeluarga) membawa ayam ke rumah yang dikunjungi, sebaliknya anak rona (keluarga dari anak laki-laki yang sudah berkeluarga) harus membawa beras.

“Kegiatan ini sengaja dilaksanakan di bulan Juni karena pada bulan-bulan ini banyak institusi-institusi yang sedang liburan seperti pelajar atau mahasiswa yang menempuh pendidikan di kota mereka juga bisa menikmati acara ini bersama keluarga, ataupun para pegawai kantor yang bekerja di kecamatan atau kabupaten mereka juga bisa turut ambil bagian dalam kegiatan ini biasanya mereka banyak menyumbangkan ide-ide cemerlang” tutur Rofinus Musdin.

Pada tahun 2015 para mahasiswa asal Wangkar di Jawa turut hadir dan memprakarsai sebuah acara yaitu talk show dengan tema “Mensyukuri Nilai-Nilai Adat yang Menghidupkan.” Dari talk show tersebut terungkap bahwa anak-anak muda Wangkar ini mengakui pentingnya budaya dalam kesuksesan mereka, budaya yang mengajarkan mereka untuk bisa hidup sederhana dan bekerja keras penuh tanggung jawab. Para mahasiswa pun membuat sebuah film pendek yang berdurasi 30 menit tentang pahitnya menjadi TKI ilegal. Kreativitas para mahasiswa ini kemudian ditonton bersama di kapela kampung Wangkar. Selain menghadirkan sebuah tontonan para mahsiswa ini pun mengedukasi masyarakat Wangkat untuk bila terpaksa memilih menjadi TKI seyogyanya mengikuti jalur resmi sebagai TKI legal.

Perayaan ulang tahun kapela dan pesta adat kampung Wangkar ini disambut positif oleh masyarakat setempat. Perkembangan teknologi tentu akan mengubah pola pikir masyarakat yang akhirnya bisa menggerus nilai-nilai budaya dan agama. Perayaan dalam nuansa inkulturasi diharapkan bisa membentengi masyarakat sehingga tidak terbuai pada pengaruh luar yang masuk.

 

Perayaan misa sebagai adat yang dibarengi misa ulang kapela st. Irenius [Foto: Popin]

 

Sejalan dengan itu masyarakat Wangkar juga melakukan beberapa penyesuaian dan penyederhanaan ritual tanpa mengurangi nilai dan pesan yang terkandung di dalamnya. Rofinus Musdin menuturkan bahwa ulang tahun kapela dan pesta adat kampung Wangkar ini menjadi salah satu cara menjaga dan melestarikan tradisi masyarakat setempat sekaligus mewariskannya kepada generasi penerus.

“Generasi muda jarang yang bisa menggunakan goet-goet (ungkapan-ungkapan adat), Manggarai atau danding (nyanyian berkelompok dengan membentuk lingkaran dan dinyanyikan secara bergantian oleh kelompok laki-laki dan perempun), mbata (nyanyian berkelompok membentuk sebuah lingkaran dengan diiringan irama gendang dan gong),  sae (tarian khusus bagi kaum wanita dengan menggunakan atribut selendang) dan lain sebagainya. Dengan adanya kegiatan ini mereka bisa belajar dan menerapkanya di lingkungan tempat mereka tinggal hari ini atau atau di masa yang akan datang”.

Sambutan positif datang juga dari anak-anak muda kampung Wangkar. Gusto (21) seorang pemandu wisata di Pulau Komodo mengaku sangat mendukung kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Sebagai pelaku industri pariwisata ia berkeyakinan lambat laun even ini akan menjadi sebuah ikon budaya yang digemari oleh wisatawan manca negara yang memang sangat menyukai destinasi budaya. Sedangkan menurut Vandry (24) guru di SDK Wangkar perayaan inkulturatif ini menjadi kesempatan bagi dirinya untuk belajar tentang budaya sendiri. “Selama di bangku pendidikan formal saya tidak mendapatkan pelajaran tentang budaya sendiri. Justru yang dipelajari hanya budaya-budaya lain. Karena itulah saya sangat aktif untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini.”

 

 Penulis : Popin Musdin

KOMENTAR