Jejak Para Pengabdi dan Perintis IKAMADA di Tanah Rantau

Jakarta, Inakoran
Oleh: Domi Darus, SH
Praktisi Hukum dan Pegiat Budaya
Tak terasa, Ikatan Keluarga Manggarai Jakarta (IKAMADA) akan memasuki usianya yang ke-57 pada tahun 2025 ini. Jika diibaratkan usia manusia, IKAMADA kini telah mencapai kematangan. Sebagai organisasi yang tumbuh dan berkembang di tanah rantau, khususnya di DKI Jakarta, IKAMADA telah melewati berbagai "musim" dan menghadapi beragam tantangan yang membentuknya hingga saat ini.

Didirikan dengan semangat kebersamaan dan kekeluargaan, IKAMADA menjadi wadah bagi masyarakat Manggarai yang merantau ke ibu kota. Selama lebih dari setengah abad, organisasi ini telah menjadi rumah kedua bagi warga diaspora Manggarai di Jabodetabek, menyediakan dukungan, informasi, dan jembatan penghubung dengan tanah kelahiran. Perjalanan IKAMADA adalah cerminan dari kegigihan para perintis dan pengabdian anggota yang tak pernah lelah menjaga semangat persatuan.
IKAMDA resmi lahir pada tahun 1968, berangkat dari idealisme dan cinta tanah leluhur. Ketua Umum pertama IKAMADA adalah almarhum Bapak Alex Gunur, seorang aktivis visioner yang datang dari Manggarai sebagai anak orang biasa, namun menjelma menjadi tokoh penting di Jakarta.
Ia adalah salah satu eksponen ’66, dan tercatat sebagai tokoh mahasiswa nasional yang ikut menggerakkan demonstrasi menuntut perubahan pemerintahan.
Di masa mudanya yang penuh idealisme, ia juga mendirikan yayasan pendidikan Katolik dan mencetak jejak panjang dalam bidang sosial dan budaya.
Di bawah kepemimpinannya, IKAMADA tidak hanya menjadi wadah kekeluargaan, tetapi juga menjadi pelestari nilai-nilai adat Manggarai di perantauan.
Tongkat kepemimpinan IKAMADA selanjutnya dipegang Bapak Barnabas Banggur, seorang figur karismatik dan idealis.
Putra Lembor ini datang ke Jakarta bermodalkan keberanian dan tekad, menempuh pendidikan hukum di Universitas Hasanuddin Makassar, dan kemudian dikenal luas sebagai advokat kondang yang membela hukum dan keadilan tanpa kompromi.
Salah satu filosofi hidup yang sangat ia pegang—warisan luhur orang Manggarai—adalah nilai "Neka data-ngong daku", yang secara harafiah berarti “jangan mengaku milik orang sebagai milik saya.”
Nilai ini menjadi kritik diam tapi tajam terhadap mentalitas korup dan budaya menjarah uang rakyat demi kepentingan pribadi yang marak di republik ini. Dalam dirinya, filosofi adat dan idealisme hukum berpadu menjadi semangat pelayanan dan integritas.
Di bawah kepemimpinannya, IKAMADA terus bergerak sebagai ruang solidaritas, advokasi, dan pelestarian budaya Manggarai di ibu kota. Sehingga IKAMADA bukan sekadar organisasi kekeluargaan, tetapi sebagai saksi dan penyambung warisan. Ia adalah rumah dan pelita, tempat anak-anak Manggarai merawat akar sambil menatap masa depan di tanah rantau.
Tongkat estafet selanjunya dipegang oleh sosok pendidik sejati yaitu Bapak Ludo Syukur. Ia adalah putra Lamba Leda, murid Guru Bocok, dan guru yang tak pernah lelah mendidik. Ia berangkat dari Ende ke Jakarta.
Ludo Syukur tumbuh dari kelas ke kantor, dari buku ke dunia profesional. Ia sempat berkarir di Buyer, Volvo, hingga Suzuki.
Dalam masa kepemimpinannya, ia berusaha membawa IKAMADA menyapa zaman: lebih terbuka, lebih profesional, lebih siap bersaing. Sehingga IKAMADA bertumbuh bersama zaman.
Tongkat estafet selanjutnya dipegang Bapak Vincent Seboe. Ia muncul dari lorong sempit perjuangan yang memberikan warna tersendiri bagi perjalanan IKAMADA.
Om Vincent, demikian ia sering disapa, adalah perpaduan unik antara darah Tionghoa dan jiwa Manggarai, menghasilkan pribadi yang dikenal keras dalam bekerja namun halus dalam mencintai budaya leluhur.
Perjalanan hidup Om Vincent adalah kisah inspiratif tentang kegigihan dan dedikasi. Dimulai dari seorang remaja penjaja obat, ia kemudian berhasil membangun karier sebagai pengusaha teknik sipil yang sukses. Namun, apa yang ia bangun bukan sekadar jalan dan jembatan fisik. Lebih dari itu, Om Vinsen membangun harapan dan martabat bagi kampung halamannya. Ia adalah representasi nyata dari keberhasilan anak rantau yang tidak melupakan akarnya.
Dalam komitmennya menggawangi IKAMADA, Om Vincent selalu menanamkan spirit kepada Manggarai diaspora: “Lalong bakok du lako’m – lalong rombeng du kole’m...” (Kau pergi sederhana... pulang penuh warna).
Om Vincent sendiri adalah perwujudan dari "manuk rombeng" itu — ayam yang kembali ke sarang dengan membawa pulang kehormatan dan kebanggaan. Dedikasinya tidak hanya terlihat dari kesuksesan pribadinya, tetapi juga dari kontribusinya dalam mengangkat martabat masyarakat Manggarai di perantauan
Kini, tongkat kepemimpinan IKAMADA berada di tangan Bapak Rikard Bagun, seorang jurnalis senior yang dikenal luas sebagai penjaga nalar bangsa.
Rikard Bagun, putra asli Kolang, adalah sosok yang tumbuh besar dalam nilai-nilai luhur dan berkembang melalui tulisan-tulisan tajamnya di Harian Kompas. Reputasinya tak hanya sebatas dunia jurnalistik; ia pernah memimpin puncak Kompas, sebuah pencapaian yang menandakan kapasitas kepemimpinannya. Namun, di balik jejak karier yang gemilang itu, ia tetaplah pribadi yang sederhana. Ia dikenal lebih banyak diam, namun setiap kata yang keluar dari lisannya selalu menggetarkan dan penuh makna.
Diharapkan dibawah kepemimpinan Rikard Bagun, IKAMADA ke depan bertransformasi menjadi oase intelektual dan ruang perjumpaangan antar-generasi. Sehingga organisasi ini tidak hanya fokus pada kegiatan sosial semata, tetapi juga pada penguatan kapasitas intelektual dan moral anggotanya.
Rikard Bagun memiliki visi yang jelas, yakni menjadikan IKAMADA bukan hanya sekadar wadah berkumpul, tetapi juga pusat pertukaran ide, diskusi kritis, dan pengembangan diri bagi seluruh anggotanya.
.jpg)
Pentas Seni Budaya
Perjalanan sejarah IKAMADA selama lebih dari setengah abad tentu bukanlah sekadar hitungan angka atau usia. Ini adalah kisah tentang keberpihakan yang tak henti kepada warga Manggarai di perantauan, sebuah dedikasi yang terus melintasi zaman, menghadapi segala hiruk-pikuknya. IKAMADA berusaha menjaga soliditas dan kebersamaan masyarakat Manggarai di tanah diaspora.
Melihat pentingnya penguatan persaudaraan dan solidaritas berdasarkan akar budaya, IKAMADA akan menggelar Misa Raya dan Pentas Seni Budaya, Sabtu, 2 Agustus di GOR Bulungan, Blok M, Jakarta. Acara ini bukan hanya perayaan, tetapi juga penegasan kembali komitmen IKAMADA untuk terus menjadi wadah yang menguatkan anggotanya.
Menariknya, tema yang diusung dalam acara akbar ini: "WAKE’ NCALLER NGGER WA, SAUNG BE’MBANG NGGER ÉTA". Frasa ini memiliki makna mendalam: "Berakar, Berkembang, dan Berbuah". Tema ini secara indah menggambarkan perjalanan diaspora Manggarai yang kuat berakar pada kearifan budayanya dan juga keyakinan teguh kepada Sang Pencipta.
KOMENTAR