KNTI: Swasembada Garam Rakyat Butuh Komitmen Kuat Pemerintah
Terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam seharusnya menjadi pedoman utama bagi pemerintah untuk segera menuntaskan carut marut industri garam nasional.
Semarang, Inako
Berbicara tentang teknologi yang semakin maju menjadi mubazir jika persoalan garam dalam negeri masih tergantung garam impor, masih kurangkah lahan budidaya garam di tanah air ataukah, tindakan impor justru menangguk keuntuntungan bagi importir?--red
Meningkatnya kuota impor garam hingga mencapai 6 % menjadi 2,9 juta ton pada tahun 2020 menandakan masih lemahnya komitmen pemerintah dalam mewujudkan swasembada garam.
Simak video terkait teknologi budidaya garam versi Kemenkomaritim, jangan lupa "klik Subscribe and Ilke" berhenti impor garam.
Silih berganti pemerintahan, selalu menawarkan “strategi-strategi jitu” untuk keluar dari jebakan impor. Alih-alih semakin mandiri, jumlah impor garam terus meningkat hingga mencapai 2,8 juta ton pada 2018 dan 2,9 juta ton di tahun ini, demikian rilis KNTI yang diterima Inakoran.com Minggu (26/1/2020)
Jika dalihnya impor untuk mencukupi kebutuhan industri, seharusnya tidak menyebabkan jatuhnya harga garam di tingkat petambak garam. Harga garam yang semulanya berkisar 1.200 per kilogram, anjlok menjadi 350-600 rupiah pada waktu panen dan juga akibat rembesan garam impor. Pemerintah seharusnya tidak menutup mata terhadap peristiwa yang sudah bertahun-tahun dihadapi oleh para petambak garam rakyat.
Untuk meminimalisir tantangan-tantangan di atas dan mewujudkan swasembada garam nasional serta meningkatkan kesejahteraan petambak garam rakyat, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mendorong pemerintah untuk segera melakukan langkah berikut:
Pertama, pengawasan harus dikuatkan agar garam impor tidak bocor di pasar lokal.
Kedua, pada sisi produksi, mendorong upaya-upaya inovatif dan konsisten untuk meningkatkan kualitas dan mutu produksi dengan cara memperbaiki sistem produksi nasional yang menyebabkan menurunnya kualitas garam; menjamin ketersediaan lahan produksi dan membatasi alih fungsi tambak garam menjadi lahan peruntukan lainnya seperti perkebunan dan permukiman.
Ketiga, Dari sisi pemasaran. Pemerintah diharapkan dapat memperbaiki posisi tawar petambak garam untuk menjamin harga yang tinggi di tingkat petani. Mendukung penyediaan informasi pasar bagi petani dan jaringan distribusi produk garam di tingkat nasional dan internasional.
Keempat, menyediakan akses atas informasi teknologi pembudidayaan garam serta dukungan infrastruktur seperti jalan, sistem pergudangan, dan sebagainya. Kelima, penguatan lembaga atau asosiasi petani garam yang memperjuangkan kepentingan petani garam. Keenam, dukungan atas akses pembiayaan/permodalan usaha bagi petani garam untuk meningkatkan usahanya.
Terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam seharusnya menjadi pedoman utama bagi pemerintah untuk segera menuntaskan carut marut industri garam nasional.
Kontak:
Dani Setiawan
Ketua Harian DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)
Telp : +62812-967-1744 | Email: bungdani05@gmail.com
TAG#KNTI SEMARANG, #NELAYAN TRADISIONAL, #IKAN, #PROTEIN, #EKONOMI KECIL, #UMKM
184892013
KOMENTAR