Konsultan Politik Dinilai Bersembunyi di Balik Lembaga Survei

Sifi Masdi

Tuesday, 28-11-2023 | 14:36 pm

MDN
Peneliti senior SSC, Surokim Abdussalam [ist]

 

 

 

 

Jakarta, Inako

Saat mendekati Pemilihan Presiden 2024, pertarungan politik semakin panas, dan peran lembaga survei serta konsultan politik menjadi sorotan kritis. Peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC), Surokim Abdussalam, mendorong agar lembaga survei berada di ruang netral, bekerja dengan etika, dan mengedepankan transparansi.

Surokim Abdussalam menyatakan bahwa lembaga survei harus menjaga profesionalitas, transparansi, dan meningkatkan tanggung jawab kepada publik. Ia juga menekankan pentingnya peran asosiasi untuk mengawasi kualitas survei agar selalu mematuhi kode etik yang telah disepakati bersama.

 

BACA JUGA: Hary Tanoe: Ganjar-Mahfud Tak Punya Beban Masa Lalu

Surokim setuju dengan Setara Institute yang menyatakan bahwa survei terkait elektabilitas calon presiden belakangan ini semakin tidak masuk akal. Survei, menurutnya, terkesan sebagai alat untuk menggiring opini publik. Namun, ia juga menyoroti perbedaan mendasar antara lembaga survei dan konsultan politik.

Menurut Surokim, lembaga survei seharusnya berada di kamar netral, bertindak imparsial sebagai penghasil data perilaku memilih. Sementara itu, konsultan politik berada di kamar sebelah yang memihak dan partisan.

"Jadi sebetulnya peran keduanya berbeda dan harus dipisahkan secara tegas," tegas Surokim.

Meskipun terdapat pro dan kontra terhadap peran lembaga survei, kenyataannya, pertarungan politik berbasis data dan ilmu pengetahuan tetap menjadi faktor krusial. Dalam setiap pemilu, lembaga survei dan konsultan politik selalu hadir sebagai kompas bagi kandidat untuk memahami dinamika electoral.

 

BACA JUGA: Ganjar-Mahfud Prioritaskan Kesejahteraan Guru Ngaji dan Marbot Masjid di Aceh

Surokim memberikan peringatan bahwa persaingan antara lembaga survei akan semakin intens di masa mendatang. Perang publikasi hasil survei akan semakin sengit karena berbagai kepentingan praktis yang bertujuan mendukung kandidat untuk memperoleh dukungan, popularitas, dan akseptabilitas dari pemilih.

"Penerapan etika menjadi sangat penting, terutama saat hasil survei dipublikasikan kepada masyarakat," ungkap Surokim.

Sebelumnya, Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Ismail Hasani, juga menyoroti posisi lembaga survei yang merangkap sebagai konsultan politik. Menurutnya, lembaga survei dapat berlindung di balik kebebasan akademik survei, menjadi agitator yang mengarahkan opini sesuai keinginan pihak yang menugaskannya.

 

BACA JUGA: Mahfud MD Serukan Penegakan Hukum Tegas Terhadap Pelanggar Pemilu

Sementara Pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing, menanggapi perbedaan hasil survei belakangan ini yang dinilai mencurigakan. Emrus menyarankan untuk segera membentuk dewan etika lembaga survei yang dapat mengontrol metodologi survei dan menerapkan transparansi terhadap dapur surveinya.

"Perlu kita diskusikan metode dan sebagainya, karena aneh bagi saya perbedaannya 5% ke atas," tandasnya.

Dewan etika tersebut diharapkan dapat membatalkan hasil survei jika terdapat pelanggaran etika serta memberlakukan sanksi denda. Dengan demikian, keseriusan terhadap etika dan integritas lembaga survei dapat lebih dijaga, menjadikan proses demokrasi di Indonesia lebih transparan dan dapat dipercaya.


 

 

KOMENTAR