Mafia Tanah Sepang Nggieng ditahan, Target berikut Mafia Menjerite, Minta Ampun Ganasnya
Jakarta, INAKORAN
Tim sapu bersih ( Tim Saber) Mafia tanah terus bergerak mengidentifikasi, dan menangkap para mafia tanah di Labuanbajo, Manggarai Barat, NTT. Persoalan Agraria menjadi salah satu penghambat investasi selain perizinan yang berputar-putar dari aturan yang tumpang tindih, begitu seterusnya ditindih-tindih hingga langit biru.
Manggarai Barat kembali heboh. Enam mafia tanah Sepang-Nggieng sudah ditahan. Setelah menangani kasus Sepang-Nggieng, Mabes Polri diperkirakan akan fokus menyelidiki kasus kasus di Menjerite.
Laporan masyarakat para mafia malang melintang menyerobot tanah adat di lingko nerot dan Menjerite. Polanya, dokumen palsu, angkat tua golo palsu dan teror-meneror masyarakat adat, demikian siaran pers Masyarakat Adat Terlaing yang diterima Inakoran Selasa (23/2/21).
BACA:
Info Harga Emas Hari Ini, 23 Februari 2021
Konspirasi para mafia yang bergerak di Pantura terus dibongkar satu per satu. Selama ini para mafia bergerak secara sembunyi-sembunyi menyerobot tanah ulayat di kawasan Pantura. Aksi ini diduga dilakukan dengan melibatkan segelintir masyarakat adat, Kepala Desa dan Badan Pertanahan Nasional Mabar.
Selama satu dekadae belakangan ini dengan leluasa mereka mengambil tanah adat tanpa perlawanan sedikit pun. Aksi ini memang memungkinkan karena masyarakat adat tidak berdaya dan pasrah saja. Dengan kekuatan dana yang besar dan jaringan hingga ke Jakarta para mafia ini leluasa menyeroboti tanah adat. Minta ampun ganasnya.
Masyarakat adat memang sudah berjuang sebisanya, tapi selalu kandas. Kami selebihnya, diam saja, ujar Bone Bola, tokoh adat Terlaing. Tapi kami terus berjuang supaya tanah-tanah adat itu kembali ke pangkuan kami, tambahnya.
BACA:
Instruksi Kapolri Berisi 11 Poin Kepada Para Kapolda, Ini Alasannya
Kami tahu, banyak sertfikat yang diterbitkan dengan menggunakan alas hak yang tidak benar. Artinya, tidak peduli tanah adat atau tidak, yang penting sertifikat segera terbit, ujar Hendrik Jempo. Kami sedang mengumpulkan semua informasi dan dokumen lapangan dan tanah-tanah yang diterbiktna oleh pihak yang tidak berhak, akan kami bawa ke ranah hukum, tambahnya.
Kami yakin, hanya soal waktu saja. Tanah-tanah yang sudah disertifikat dengan menggunakan dokumen palsu dan orang-orang yang tidak berhak akan segera terbongkar, ujar Hendrik Jemnpo, tokoh adat Terlaing. Silahkan mereka berleha-leha sekarang, tapi akan segera kami menyerat ke ranah hukum, tambah jempo.
Memang aksi penyerobotan tanah adat di kawasan Pantura di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, kian marak dan cenderung liar dan brutal. Dalam aksi penyerobotan ini para mafia menggunakan strategi dengan menghancurkan tatanan adat.
Dalam rentang waktu satu dua tahun terakhir, sudah ratusan hingga ribuan terbit sertifikat di kawasan Pantura, mulai dari tanah adat Sepang-Nggieng, Rareng hingga tanah Adat Terlaing dan Lancang.
Penerbitan sertifikat ini dilakukan oleh satu konspirasi antara para mafia, pemerintahan desa, tokoh adat setempat dan Badan Pertahan Manggarai Barat.
“Masyarakat adat tidak berdaya, pasrah dan bingung. Tanah adat, tanah leluhur mereka sudah dirampok oleh para mafia” demikian kata Deny Nggana, seorang simpatisan gerakan pemberdayaan masyarakat adat.
Jika kita melacak tanah adat masyarakat Sepang-Nggieng, Rareng, Terlaing dan Lancang, maka kita merasa tatanan adat Manggarai sudah lumpuh dan hancur. Kita akan terperangah, mengapa sekitar 563 sertifikat di tanah adat Sepang Nggieng sudah dirampok pihak luar? Dari semua sertifikat yang berada di atas tanah adat ini, tak satupun milik orang Manggarai. Sungguh mengenaskan!, tambah Deny Nggana.
Kasus Sepang-Nggieng ini sudah ditangani Mabes Polri dan sejumlah orang sudah ditetapkan sebagai tersangka, sekitar 6 orang para mafia dan sejumlah oknum di BPN Manggarai. Perkaranya sudah pada posisi P-21 di Kejaksaan Agung.
Selain kemelut Sepang-Nggieng, tanah adat Rareng pun mengalami nasib serupa. Lahan di Punggung Buaya, sudah diacak-acak oleh komplotan mafia dan kasus ini sudah di meja hijau dan masih berlangsung sampai sekarang.
Dari berita berbagai media massa belakangan ini, ada beberapa orang diduga sebagai aktor intelektual dalam kemelut kawasan Pantura Mabar. Masyarakat Adat Terlaing menuding Saudara Bonfantura Abunawan, Camat Boleng, sebagai biang kerok kemelut di Menjeritte. Ia tak henti-henti membangun opini bahwa Masyarakat Adat Terlaing tidak ada karena mereka tidak ada Compang dan Mbaru Gendang. Sebagaimana foto yang ditampil berita ini, setiap tahun para tetua adat berdoa di Compang mereka. Saudara Abunawan membuat rekayasa peta dengan memasukan kawasan tanah adat Terlaing masuk ke dalam peta ulayat Mbehal, milik sukunya. Kasus inipun ia dipenjarakan di Kupang belum lama ini.
Selain Abunawan, masyarakat Adat Lancang dan Terlaing sudah melakukan dua kali somasi kepada ahli waris DG Turuk yaitu saudara Moses H. Fono. Edu W Gunung, Blasius Aman dan Fono. Mereka mendesak untuk mengosongkan lahan yang mereka duduki di Lingko Menjerite dan Nerot.
Kemarahan masyarakat Terlaing dan Lancang meledak karena ahli waris DG Turuk ini bukan warga adat Lancang atau Terlaing dan tidak mempunyai hak atas tanah adat. Para ahli waris DG Turuk ini bahkan orang tua mereka, bukan warga adat Lancang atau Terlaing, mereka berasal dari luar Manggarai Barat. Tetapi mereka semena-mena menyerobot tanah adat Lancang dan Terlaing lalu menghibahkan kepada Kodam Udayana seluas 20 hektar. Selain itu mereka membangun rumah di atas lahan adat Lancang dan Terlaing. Pola mereka menguasai tanah dengan cara preman, teror-meneror dengan mendatangkan preman dari luar Manggarai Barat, sebagai terjadi peristiwa tahun 2008 dan tahun 2020 lalu.
Masih kemelut di kawasan Menjerite. Bapak Abdullah Duwa berperan penting. Kasus yang melilit Menjerite tidak terlepas dari peran Duwa. Terbaru, tanggal 6 Januari 2021, Bapak Abdullah Duwa mengirim surat kepada tokoh masyarkat adat Terlaing, Bone Bola dan Hendrik Jempo. Surat ini dibuat sebagai respon atas tembusan surat somasi dari Masyarakat Adat Terlaing dan Lancang terhadap ahli waris Daniel Gabriel (DG) Turuk.
Isi somasi itu meminta ahli waris DG Turuk Moses H . Fono, Edu W Gunung, Blasius Aman dan Naldo untuk segera mengosongkan tanah yang mereka duduki di Lingko Menjerite dan Nerot.
Surat somasi ini ditanda-tangani Bonefasius Bola (Tu’a Golo Beo Terlaing), Hendrik Jempo
(Tu’a Gendang Beo Terlaing), Theodorus Urus (Tua Golo Beo Lancang), Mikael Antung (Kepala Dusun Masyarakat Adat Beo Lancang) dan Benediktus Bedu (Tokoh Adat Masyarakat Adat Beo Lancang yang mewakili 200 anggota masyarakat adat)
Dalam surat ke Bone Bola dan Henderik Jempo itu, Bapak Abdulah Duwa mencabut pernyataan atas dua dokumen yaitu Peta Lima Lingko Tanah Persetujuan Masyarakat Kampung Terlaing/Tebedo, Desa Watu Wangka, Kecamatan Boleng dan dokumen surat pernyataan Pengakuan Tua Mukang Timbus/Rangko Tentang Tanah Persekutuan Adat Beo Terlaing/Tebedo tertanggal 13 Agustus 2016.
Terhadap surat tanggal 6 Januari 2021 ini, para tokoh masyarakat adat Terlaing dan Lancang menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Abdullah Duwa. Kami menyadari bahwa sebagai pendatang, bukan asli Manggarai, sikap Bapak Abdullah Duwa ini, sungguh tepat, jelas Bone Bola, tua golo Terlaing.
Dalam dua dokumen itu Bapak Duwa adalah sebagai Tua Mukang Rangko. Artinya dalam posisi adat Manggarai ia tidak memiliki posisi adat yang kuat, ia berposisi sebagai penjaga saja. Biasanya penjaga ini, bukan asli dari komunal masyarakat adat setempat, jelas Hendrik Jempo, tua gendang Terlaing.
Sebagai Tua Mukang, memang tidak masuk akal jika Bapak Duwa menanda-tangani dua dokumen itu karena dalam posisi adat Manggarai, Tua Mukang tidak milliki hak apa-apa. Tetapi persoalan, apa dasar ia menanda-tangani dokumen itu dan sekarang ia mencabut kembali. Ini ada konsekuensi hukumnya, tambah Jempo lagi.
Dalam surat tanggal 6 Januari 2021 itu , yang lebih aneh lagi, Bapak Duwa menyebut diri sebagai Tu’a Golo. Apa alasan ia menyatakan diri Tu’a Golo Rangko. Jika ia orang asli Manggarai maka posisi sebagai Tua Golo adalah posisi terhormat dan sakral dalam hukum adat Manggarai. Peran seorang Tua Golo mengatur aneka tata cara adat. Ada lima pilar utama yang ia kendalikan yaitu Sompang (mesbah) Gendang (rumah adat) Wae Tiku (sumber air) Lingko (tanah adat) dan Natas (galaman rumah).
Sementara Rangko tempat kediaman Bapak Duwa bukan kampung adat Manggarai. Di kampung ini tidak ada rumah gendang, tidak ada compang, tidak ada mata air adat dan tidak ada tanah ulayat. Sebagian besar penduduknya adalah pendatang yang bekerja sebagai nelayan. Wilayah garapan mereka di laut bukan di darat. Tetapi masyarakat Manggarai memberi tempat di sekitar tempat tinggal mereka untuk “pari nakeng”, artinya tempat pengeringan ikan, jelas Jempo.
Karena itu klaim Duwa ini sebagai Tu’a Golo di Rangko ini sangat berbahaya. Ada konsekwensi adatnya. Ia pendatang, tetapi mengapa ia mengaku-ngaku Tu’a Golo? Tampak sekali, ia tidak mengerti adat Manggarai. Kami khawatir klaim Duwa ini bisa menjadi pemicu kemelut horizontal di Menjerite dan Nerot. Kami mengingatkan, Bapak Duwa ini sebagai pendatang, jangan memicu kemelut dan tidak boleh mengacak-acak tatanan adat Manggarai. Tindakan Bapak Duwa meresahkan dan menghambat investasi di kawasan Menjerite dan Nerot tambah Jempo.
Lebih jauh Hendrik Jempo mengatakan, ia berharap Bapak Abdullah Duwa tidak pernah menandatangani alas hak dalam proses penerbitan sertifikat di kawasan sekitar Menjerite dan Nerot. Tetapi jika ada tanah-tanah dalam pembuatan sertifikat dengan menggunakan alas Bapak Abdullah Duwa maka tindakan ini akan menerima konsekwensi hukum baik pidana maupun perdata.
Jika selama ini ia mengaku-ngaku sebagai Tua Golo, diduga ada pihak yang memanfaatkan dia sebagai Tua Mukang Rangko. Atau Bapak Duwa ini secara sengaja menabrak adat Manggarai dan diduga pula ia menjalin kerja sama para mafia tanah yang lagi marak di Manggarai Barat. Kami tengah mengkaji dugaan keterlibatan Bapak Duwa ini dalam kasus-kasus tanah di Lingko Menjerite dan Nerot, ujar Bola lagi.
Kami juga sedang mempertimbangkan secara serius untuk mengambil-alih semua tanah milik Bapak Abdulah Duwa yang berada di lahan tanah adat dengan cara baik-baik atau secara paksa. Karena orang ini sudah meresahkan masyarakat. Menanda-tangani dokumen adat semaunya dan mencabut kembali semaunya juga, jelas Hendrik Jempo.
TAG#Terlaing, #TANAH ULAYAT, #LBAJO, #MABAR, #AGRARIA
188696940
KOMENTAR