Memahami H. Bambang Hermanto Calon Bupati Indramayu 2024
Oleh. : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
JAKARTA, INAKORAN
Kontestasi pilkada Indramayu 2024 pasti melahirkan seorang "bupati" tetapi apakah bupati sekaligus ia adalah seorang "pemimpin" atau sekedar "penguasa politik"?
Itulah pertanyaan perspektif "terdalam" dalam konstruksi sosiologi kepemimpinan politik seorang ilmuan sosial Dr. Arif Budiman.
Dalam konstruksi pertanyaan di atas itulah penting memahami H. Bambang Hermanto, satu dari tiga calon "bupati" Indramayu dalam kontestasi pilkada Indramayu 2024.
Sependek referensi penulis tentang H. Bambang Hermanto, biasa dipanggil "Baher" (dengan segala kekurangan manusiawi), ia tumbuh dalam proses berkeringat "politik" sepenuhnya dalam suasana kebatinan sosio kultural Indramayu.
Artinya ia tumbuh bersama dinamika dan interaksi ekosistem sosial masyarakatnya. Paham "bau" lumpur persawahan, bertumbuh bersama panas aspal jalanan, akrab ditampar terik membakar pantai dan gestur komunikasi politiknya khas langgam "dermayon banget".
Inilah yang disebut dalam diksi politik Profesor Syafie Ma'arif sebagai politisi '"membasis bumi", bukan politisi "gincu" yang manipulatif tetapi tumbuh bersama akar sejarah kearifan kearifan lokal ekosistem sosial masyarakatnya.
Ia merangkak dan mendaki tangga mobilitas sosial vertikal hingga menjadi anggota DPR RI dan hari ini dalam posisi politik menjadi salah satu calon bupati Indramayu 2024.
Memang di negara kita Indonesia dengan dasar Pancasila dan sistem demokrasi - siapa pun, dari suku mana pun terbuka ruang untuk menjadi pejabat politik termasuk menjadi bupati Indramayu, tidak ada hambatan konstitusional.apapun.
Tapi seperti kata bung Karno dalam pidatonya di sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) 1 Juni 1945 Pancasila adalah "Grandsleag", kisi kisi pandangan hidup kebangsaan 100% "digali" dari sejarah kearifan kearifan lokal.
Di sini diskursus dan percakapan tentang pemimpin tidak terkait "bibit", nasab keturunan, "bebet", status sosial dan "bobot", keangkuhan pendidikan, tiga variabel warisan artikulatif kolonial Belanda yang diskriminatif.
Pointnya adalah bagaimana pilkada tidak diletakkan sekedar untuk memilih bupati sebagai "penguasa politik" tapi miskin kepemimpinan politik, tidak memahami kearifan lokal kehendak rakyat yang dipimpinnya.
Dalam konteks itulah penulis memahami keterpanggilan historis Baher untuk hadir dalam kontestasi pilkada Indramayu 2024, sebuah keterpanggilan menempuh "jalan menderita" bersama rakyat untuk jalan pengabdian maslahat publik.
Ke sanalah gerak peradaban politik kita diarahkan agar "naik kelas" menjadi komunitas bangsa yang beradab dan mulia secara politik.
TAG#ADLAN, #INDRAMAYU
182194345
KOMENTAR