Memahami Konflik di Papua: Mengapa Berulang

Hila Bame

Monday, 29-01-2024 | 11:27 am

MDN

 

Oleh: Toenjes Swansen Maniagasi, SH (Direktur Eksekutif Komunitas Demokrasi Papua)

JAKARTA, INAKORAN

Situasi keamanan di tanah Papua tak pernah aman. Terkini terjadi di Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah.

Baku tembak antara TNI Polri dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) berlangsung pada 19 sampai 20 Januari 2024. Terlepas motif dari peristiwa tersebut, kejadian ini menambah daftar panjang gangguan keamanan dan konflik di Papua.

Jika menengkok ke belakang, operasi militer di Papua sudah berjalan enam dekade. Operasi militer ini terus dilakukan meskipun pemerintah dan otoritas keamanan di Jakarta tidak mengakuinya secara formal. Selama itu pula negara bertumpu pada cara-cara komando dalam penyelesaian konflik Papua.

BACA:  

Magnis-Suseno: Jangan Pilih Pemimpin yang akan Mencelakakan Indonesia

 

Pelibatan aktor lokal untuk menangani konflik dinihilkan. Cara ini tidak sejalan dengan cara pandang di masyarakat.

Pemerintah pusat masih secara sepihak, padahal sejatinya yang dibutuhkan dan ini mendesak adalah kedua pihak membangun konsensus bersama. Intinya, pemerintah pusat memandang konflik di Papua dengan cara pandang yang keliru. Pemerintah melihat akar konflik di Papua hanya sebatas persoalan ekonomi dan pembangunan. Padahal dari banyak penelitian dan keterangan para ahli, hal itu bukan satu-satunya akar masalah.

Jika diklasifikasikan, berlarutnya masalah di Papua meliputi: gagalnya pembangunan sosial ekonomi termasuk budaya yang secara pelan di rusak; marginalisasi dan kriminalisasi; interpretasi historis dalam hal ini proses integrasi Papua ke Indonesia melalui referendum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di tahun 1969 terindikasi kecurangan karena tidak sesuai dengan isi Perjanjian New York yaitu one man one vote; kebebasan dan pelanggaran HAM (didalamnya sudah masuk gagalnya pemenuhan pendidikan, kesehatan bahkan perlindungan hutan); saling curiga antara Jakarta dan Papua.

Mengutip Al Araf bahwa pemerintah pusat selalu mencurigai setiap gerakan di Papua, sebaliknya Papua juga tidak mempercayai Jakarta. Masalah ini kian keruh dengan keputusan pemerintah pusat melabeli Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sebagai teroris.

Ubah Pendekatan

Kalau diasumsikan ini masih terus berlangsung, dimana pemerintah tetap mengedepankan pendekatan keamanan dalam penyelesaian masalah di Papua, maka bisa dipastikan konflik terus berlangsung. Walaupun selama sembilan tahun terakhir Presiden Joko Widodo telah meningkatkan pembangunan ekonomi dan infrastruktur di Papua, faktanya kekerasan baik fisik maupun verbal tetap berlangsung.

Artinya pendekatan ekonomi dan infstruktur bukan solusi jitu, dalam arti yang dituntut rakyat Papua bukan sekedar ekonomi tetapi penghormatan pada kebebasan dan HAM terutama aspek sosial budaya. Ini yang gagal di pahami oleh pemerintah pusat. 

Secara teoritis, dalam teori-teori kontrainsurgensi (penumpasan pemberontakan) bahwa akar masalah pemberontakan biasanya tidak hanya terkait politik atau teritorial. Lebih dari itu, suatu pemberontakan cenderung berkembang dalam kondisi represi ideologi, etnis, budaya, hingga ekonomi. 

Penggunaan kekuatan militer akan kontraproduktif, bukan saja merenggut korban jiwa dari masyarakat sipil, namun legitimasi pemerintah pun semakin ciut terutama di mata hukum internasional. 

Penting pula dipahami oleh pemerintah bahwa marginalisasi di sektor ekonomi, pendidikan, pembangunan sumber daya manusia. Misalnya, tingginya migrasi ke Papua menyebabkan jumlah pendatang melebihi orang asli Papua (OAP) yang menjadi minoritas di wilayah sendiri. Diprediksi pada tahun 2030, jumlah penduduk OAP hanya sekitar 15,2 persen dari total 15,6 juta jiwa penduduk di wilayah Papua. Dan mereka para pendatang ini menguasai ekonomi di Papua. Sementara itu, diskriminasi rasial terhadap OAP juga masih sering terjadi. Berbagai lontaran rasial masih sering dijumpai, baik sengaja maupun tidak sengaja. 

Untuk itu, penyelesaian ragam masalah di Papua harus mengedepankan dialog yang setara, humanis dan partisipatif, bukan dengan kekerasan--militer. Oleh karena itu, pemerintah harus melibatkan semua elemen di Papua untuk membicarakan resolusi terbaik.

Siapapun Presiden pengganti Joko Widodo, harus memahami sejarah Papua dan dinamika sosial budaya dan ekonomi politik di tanah Papua. Ini penting agar kesalahan di masa lalu tidak diulang kembali.

 

TAG#PAPUA

188632401

KOMENTAR