Membaca Habib Rizieq dalam Perspektif Kultur Politik Jawa

Hila Bame

Tuesday, 17-11-2020 | 07:42 am

MDN

 

Oleh:  Anwar Hudijono

 

Jakarta, INAKORAN

 

Blak-blakan saja, salah satu misi saya menulis tentang Habib Rizieq Shihab (HRS) ini untuk numpang beken. Nggandul popularitas. Siapa tahu katut viral layaknya perahu gabus terbawa arus sungai. Jika dibuat analog, saya ini seperti laron yang mendekati lampu neon yang menyala sendirian di tengah perempatan jalan.

Habib Rizieq
 

 

Seekor laron yang terbang di dekat lampu neon akan terlihat keren. Lantas jadi inspirasi menulis puisi: sang laron menari-nari. Coba laron terbang di bawah gelapnya rerimbunan pohon keres, mana ada yang peduli.

Yang mendatangi lampu neon tidak cuma laron seorang. Tapi juga banyak laron lain. Banyak lagi serangga seperti mrutu, nyamuk, capung, kaper, manyang. Bahkan serangga berbau tidak enak seperti kepik dan walang sangit juga mendatangi. Seandainya garangan dan nyambik bisa terbang, mungkin juga akan mendatangi. Yang pasti juga mendatangi adalah cicak karena hendak mencari makan dengan memangsa serangga.

Neon menyala sendirian di tengah perempatan jalan memang menarik perhatian. Apalagi ketika neon-neon yang lain meredup atau bahkan padam. Benar-benar sesuatu banget.

Dalam sudut padang kultur politik Jawa, HRS saat ini ibarat orang yang sedang melakukan pepe ing sangandhaping bandhera sinengker (berjemur di bawah kibaran  bendera pusaka negara) yang terletak di tengah alun-alun. Sedang alun-alun itu berada di depan paseban agung, tempat raja menerima para tamu untuk menghadap. Tujuan orang yang melakukan pepe adalah untuk bisa berdialog langsung dengan raja.

Pepe adalah insitusi sakral. Merupakan pengejewatahan atas penghormatan terhadap hak asasi manusia yaitu kebebasan. Kebebasan adalah fitrah manusia. Siapapun tidak boleh melarang. Bahkan raja pun tidak berani menghapuskan. Siapapun, meski hanya wong cilik ongklak-angklik (rakyat kecil papa) yang melakukan pepe, harus dijamin keselamatannya. Tidak boleh diintervensi. Apalagi dipidana.

Pepe adalah proses politik di mana rakyat ingin bertemu dan berdialog langsung dengan rajanya. Biasanya sebagai ikhtiar terakhir rakyat untuk mendapat keadilan. Menyampaikan aspirasi karena saluran formal yang ada sudah benar-benar buntu.

Saat melakukan pepe, seseorang atau sekelompok orang akan duduk di bawah kibaran bendera kerajaan. Hal itu sebagai simbol perikeberadaan mereka sah. Dijamin negara. Meneguhkan tujuan pendirian negara yaitu untuk melindungi setiap warga negara dan tumpah darahnya.

Para raja dulu menjaga kesakralan eksistensi pepe ini. Mungkin hanya Raja Mataram Amangkurat I yang melecehkan wilayah bawah kibaran bendera. Justru di situ dia membantai ribuan ulama dan keluarganya secara kejam bin sadis. Dia tercatat sebagai raja Jawa paling horor dan teror. Matinya mengenaskan. Dia mati sebagai buron dan nyawanya melayang karena diracun anaknya sendiri, Amangkurat II.

MANUNGGALING KAWULA-GUSTI

Tujuan menjaga kesakralan eksistensi pepe ini untuk memelihara manunggaling kawula-gusti (kemanunggalan rakyat dan raja). Rakyat bisa dialog langsung dengan raja itu adalah salah satu perwujudan kemanunggalan. Dalam kultur politik Jawa rakyat dan raja itu satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Ibarat susetya (akik) dengan embannya. Betatapun indahnya akik tetapi kalau tidak ada embannya juga tidak terlihat. Apalagi kalau hanya dimasukkan slepi (tas kulit kecil). Demikian pula emban tanpa akik tidak berharga.

Kemanunggalan rakyat dan raja tidak hanya dalam konteks birokrasi-administratif secara formal. Diikat dengan peraturan perundang-undangan. Dibingkai dengan hak dan kewajiban hasil rekayasa manipulatif hukum. Dalam konsep kultur politik Jawa ditegaskan haruslah kemanunggalan yang diikat oleh cinta kasih. Nyawiji  welas asih lahir tumusing batin (luruh menyatunya cinta kasih lahir dan batin).

Para raja Jawa yang bijaksana akan selalu menjaga welas asih rakyatnya. Tidak mau rakyat patuh dan hormat kepada dirinya karena ketakutan. Terpaksa. Di depan kayak yak-yako hormatnya, tapi di belakang menyumpahi. Di mulutnya mendoakan panjang umur, sejahtera, tetapi di batinnya mendoakan ndang matio (segera mampus) disamber mbledek (disambar petir).

Raja-raja Jawa sangat mafhum bahwa wilayah kekuasaan raja itu seluruh negara. Kekuasaannya meliputi seluruh rakyatnya. Bahkan raja bisa masuk ranah pribadi rakyatnya. Sampai-sampai jaman dulu ada raja yang bisa minta istri rakyatnya.

Tapi para raja juga sadar bahwa aparat di bawahnya bisa membuat kekuasaan raja hanya sebatas singgasananya. Membuat tetek bengek protokol yang mempersempit ruang gerak raja. Akhirnya raja menjadi subyek yang terasingkan. Kesepian. Ia menjadi setitik embun yang cermerlang tapi sendirian bertengger di atas daun. Padahal seharusnya dia menyatu dengan rakyatnya menjadi arus sungai yang besar.

Para raja dulu sadar bahwa lingkaran istana akan dihuni oleh social climber. (Jaman dulu istilahnya tentu bukan social climber. Kira-kira istilahnya para begundal). Menggunakan kedekatannya dengan istana untuk meningkatkan status sosialnya. Lama-lama akan berperan sebagai orang yang paling dekat dengan raja. Paling dipercaya raja. Merepresentasi kemauan dan kebijakan raja. Bahkan menjadi bayang-bayang raja itu sendiri.  Pada tingkat terakhir mengkudeta raja secara formal maupun substansial.

Maka biasanya lingkaran raja itu banyak orang yang ditandai lima kem (5-Kem). Yaitu, keminter, kemeruh, kemlinti, kemuasa, kemajon. Artinya, sok pintar, sok tahu, sombong, sok kuasa, kebablasan. Boleh juga ditambah dua kem lagi yaitu kemaruk dan kemresek. Artinya maunya macam-macam, dan gaduh terus. Jika mau menambah lagi satu kem juga boleh yaitu kemproh.

Kondisi lingkar istana yang dijubei social climber itu terjadi di  jaman kerajaan Jawa dulu. Bukan pada jaman now. Kalau jaman now insya Allah tidak ada. Kalau toh ada paling cuma satu, dua, tiga, empat dan seterusnya. Ah, yakin tidak ada. Sekarang ini para punggawa panakare becik-becik ( pola pikir dan tindaknya  baik-baik semua).

Adanya orang yang ingin menjadi bayangan raja itu sepertinya sudah sabda alam. Ada rembulan di samping matahari. Jika kebablasan bulan itu akan bergaya menjadi matahari kembar. Orang tipikal demikian bukan hanya di dalam kultur politik Jawa. Dalam film Marcopollo diceritakan, Ahmad adalah Perdana Menteri Dinasti Yuan. Ia meraih jabatan itu setelah meracun rivalnya, Yusuf. Awalnya dia hanya menjalankan kebijakan Kaisar Kubilai Khan. Lama-lama mengatasnakaman kaisar. Bertindak sebagai kaisar tanpa ijin kaisar. Puncaknya ingin merebut tahta Kubilai Khan. 
MENGISOLASI RAJA

Dalam pepe itu, prosedur tetapnya aparat yang bertugas akan melaporkan kepada raja tentang adanya orang yang melakukan pepe. Raja dulu juga sadar tentang pengkhianatan aparat lingkarannya bahwa mereka tidak melaporkan. Melakukan sabotase kebijakan raja.  Karena para pejabat yang buruk sangat takut kalau sampai rakyat melaporkan keburukan yang menyangkut dirinya langsung ke raja.  Pejabat kotor akan mengisolasi raja dari rakyatnya. Menjauhkan raja dari kebenaran sejati. Jadilah kursi singgasana tidak lebih sebagai karantina. 

Maka biasanya raja akan menengok langsung keadaan di bawah bandhera sinengker. Tak segan-segan raja akan mendatangi mereka. Kalau protapnya, mereka akan dipanggil masuk paseban untuk dialog dengan raja. Raja yang dicintai rakyat lahir tumusing batin tidak akan pernah takut bertemu rakyatnya. Bagaimana bisa terjadi manunggaling kawula-gusti jika ada sekat ketakutan di antara mereka. Freedom of fear. Belum lagi sekat prasangka. Sekat distorsi informasi.

Bertemu rakyat langsung bagi seorang raja juga dalam rangka mendapatkan kebenaran sejati. Sangat mafhum informasi dari rakyat yang disampaikan para punggawa atau aparat di bawahnya sering kali sudah difilter, dibumbui, diramesi, diolah. Ibarat ketela, tidak lagi disajikan dalam bentuk ketela wungkul tapi sudah diolah menjadi getuk, utri, sermiyer atau tape.

Raja dulu sangat paham bahwa sering kali aparat di bawahnya itu bertabiat seperti orang mau klelep (tenggelam) di sungai. Kakinya memancal-mancal ke bawah sementara tangannya menggapai-gapai ke atas.

Saya bayangkan jika Presiden Jokowi bertemu HRS. Entah dengan cara memanggil ke paseban (Istana) atau Jokowi justru berkenan jengkar (keluar) menemuinya. Atau dengan cara lain. Marwah dan wibawa Jokowi tidak akan berkurang karena bertemu dengan rakyatnya yang bernama HRS. Meskipun saat ini mungkin dikategorikan rakyat yang mbetik (berulah). 

Bagi HRS sendiri tidaklah merosot martabatnya sebagai ulama karena bertemu Presiden asal sowannya bukan untuk ndremis (meminta-minta). Yang tidak diperkenankan ulama menemui raja itu kan kalau ndremis, mencari jabatan, menjadi makelar proyek. 

Kalau menerima hadiah harus hati-hati. Dikhawatirkan hadiah bisa meredusir keulamaannya. Dicontohkan oleh Syekh Abdul Qadir Al Jilani yang berusaha menolak hadiah uang emas dari Khalifah Al Ma’mun. Bisa juga mengikuti cara Imam Malik yang diberi hadiah kereta yang indah oleh sultan. Agar tidak menyinggung sultan, dia menerimanya tetapi tidak pernah sekalipun memakainya. Bagi dia, tidak pantas ulama memakai kendaraan mewah. 

PENGUASA YANG MERAKYAT

Ulama bertemu raja menjadi wajib jika untuk membahas persoalan umat manusia, bangsa. Hal itu  dalam koridor ud’u ila sabili rabbika bil hikmati wa mau’idlatil hasanah wa jajadilhum billati hiya ahsan. Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan cara yang baik. Debat dalam arti minimal berarti dialog.

Presedennya sudah ada yaitu ketika Jokowi bertemu dengan Prabowo. Prabowo adalah musuh bebuyutan Jokowi. Pernah terlibat perang tanding. Kalau dengan Prabowo bisa bertemu di kereta api kemudian nyate bareng, mengapa dengan HRS tidak bisa? Insya Allah bisa. 

Karena pada dasarnya Jokowi itu subyek penguasa yang merakyat. Sudah menjadi kebiasaan  dia sejak dulu bergumul langsung dengan rakyat. Tidak memiliki sikap adigang adigung adiguna. Sebagai orang yang tumbuh di jantung peradaban Jawa, Solo, dia mafhum betul tentang konsep ngluruk tanpo bala menang tanpo ngasorake. Memegang ajaran berbudi bawa leksana. Sangat memegang paugeran sura sudira jayaningrat arsa lebur dening darmastuti.

Coba lihat, apakah kehormatan Jokowi berkurang karena ketemu Prabowo di kereta api? Apakah martabat Prabowo terkoyak karena kemudian menjadi menterinya? Kemanunggalan Jokowi-Prabowo membuat sebagian masalah konflik faksional bangsa ini sangat berkurang. Minimal semua kembali menjadi manusia seutuhnya. Tidak jadi manusia setengah cebong dan manusia setengah kampret.

Kalau ada yang berusaha menghalang-halangi dialog Jokowi-HRS saya kira itu wajar. Pada jaman raja-raja dulu juga begitu. Penghalang utama takut kehilangan peran, dirinya tersingkir, tidak kumanan. Kehilangan job busseria. Bisa juga karena ingin Indonesia ini ribut melulu. Dulu pun banyak yang menghalangi upaya menyatukan Jokowi-Prabowo.

Di sinilah peran Kepala BIN Budi Gunawan kembali sangat dibutuhkan. Dia adalah negosiator terbaik yang dimiliki Indonesia saat ini. Di jaman geger reformasi ada negosiator ulung yaitu Abdul Malik Fadjar. Budi Gunawan  tidak hanya bertangan dingin, tetapi juga berhati sejuk.

Dialog Jokowi-HRS diharapkan berakhir dengan ibarat bertemunya dua arus sungai yang kemudian manunggal. Air sungai itu masuk ke saluran irigasi untuk mengaliri sawah sehingga menjadikan sawah subur makmur loh jinawi gemah ripah kerta tentrem raraharja. Menjadikan Indonesia ini menjadi negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negara yang baik penuh ampunan dari Tuhan). Rabbi a’lam.

**)Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo.

Sidoarjo, 17 November 2020

TAG#ANO, #RIZIEQ SHIHAB

161661039

KOMENTAR