Mendahulukan Usia Daripada Zonasi dan Prestasi: Wujud Keadilan Pemberian Kesempatan Belajar di Sekolah Negeri di Jakarta?

Sifi Masdi

Monday, 29-06-2020 | 09:48 am

MDN

Oleh: Tjoki Aprianda Siregar

Profesional dan Pengamat Masalah-Masalah kemasyarakatan 

Jakarta, Inako

Ruang publik kita selama sekitar seminggu terakhir diwarnai dengan pemberitaan media mengenai penerimaan peserta didik baru (PPDB) di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri di Jakarta yang dikritik orang tua calon peserta didik tidak adil, karena sistem PPDB yang diterapkan menunjukkan seleksi terus dilakukan berdasarkan usia meski telah memasuki hari Seleksi berdasarkan Zonasi.

Unjuk rasa orang tua murid terjadi pada Rabu, Kamis, dan Jumat minggu ke-3 Juni 2020 ke Balai Kota dan DPRD DKI Jakarta menuntut kejelasan dan keadilan. Seleksi berdasarkan Zonasi atau kedekatan jarak dengan tempat tinggal calon peserta didik ternyata menurut temuan orang tua murid masih dilakukan oleh sistem daring berdasarkan usia.

Demo orangtua wali murid di DKI Jakarta [ist]

 

Setelah turut mencek langsung dengan mengakses sistem daring PPDB, penulis menemukan indikasi bahwa hal-hal yang dikeluhkan para orang tua murid benar adanya. Meski seleksi berdasarkan Zonasi sudah mulai dilaksanakan, ditemukan bahwa dari alokasi 93 peserta didik sebuah SMP di Jakarta Pusat, sistem tetap "menyaring" calon-calon peserta didik berdasarkan siapa yang lebih tua yang ditempatkan sistem pada nomor urut lebih awal dibandingkan yang lebih muda. 

Temuan lain penulis adalah pada nomor urut paling atas (nomor 1) daftar calon-calon peserta didik sebuah SMP favorit di kawasan Cempaka Putih, terdapat nama calon peserta yang menurut teman-temannya semasa SD pernah tidak naik kelas semasa SD-nya. Usianya sudah 14 tahun 11 bulan lebih beberapa hari. Meski demikian karena sistem di-set mendahulukan usia calon yang lebih tua pada nomor urut lebih awal, calon peserta didik yang berusia di atas 14 tahun tersebut diurutkan oleh sistem pada nomor urut paling atas daftar. Sementara itu, seorang siswa yang berprestasi sangat baik, menjadi juara kelas di sekolah yang sama dengan calon peserta tadi, "terlempar keluar" namanya dari daftar peserta didik di sekolah yang sama, hanya karena usianya yang "masih" 12 tahun 3 bulan. Meski masih termasuk pagi hari di tanggal pelaksanaan Seleksi berdasarkan Afirmasi, namanya sudah "terlempar keluar" bahkan dari daftar peserta didik baru di 3 sekolah pilihannya. Orang tua anak berprestasi tersebut berprofesi sebagai pengemudi ojol. Hal serupa terjadi lagi pada hari berikutnya saat pelaksanaan Seleksi berdasarkan Zonasi yang ternyata masih menggunakan kriteria usia.

 

Kepala Dinas Pendidikan Pemprov DKI Jakarta, Nahdiana, dalam konperensi pers di kantornya minggu lalu menjelaskan bahwa anak-anak berprestasi masih memiliki kesempatan mendapatkan tempat di SMP/SMA pilihan mereka pada 1 Juli 2020, ketika seleksi berdasarkan Prestasi berlangsung. Sekiranya dalam persaingan tersebut, mereka tidak mendapatkan kursi di SMP/SMA pilihannya, mereka masih mungkin bersekolah dengan jaminan KJP (Kartu Jakarta Pintar). Apakah solusinya sesederhana itu?

Penempatan calon peserta didik berusia lebih tua dari mayoritas temannya dan mungkin pernah tidak naik kelas di nomor urut-nomor urut atas daftar kemungkinan besar juga terjadi di SMP kawasan Jakarta lainnya. Fakta bahwa Seleksi berdasarkan Zonasi masih menggunakan kriteria usia masih terus digunakan. Makna Seleksi berdasarkan Zonasi menjadi "kabur".

Sementara itu, menanggapi kesempatan yang masih terbuka bagi anak-anak yang belum mendapatkan sekolah negeri dalam Seleksi tahapan-tahapan sebelumnya, mengutip pernyataan Doni Koesoema, seorang pengamat pendidikan, ketika diwawancara sebuah stasiun televisi swasta beberapa waktu lalu, persaingan siswa-siswi di jalur Prestasi PPDB diperkirakan akan ketat, dengan alokasi kursi yang diterima sekitar 20 persen dari total peserta didik yang diterima setiap sekolah. 

Dinas Pendidikan Pemprov DKI merujuk pelaksanaan PPDB di Jakarta tahun ini pada Peraturan Mendikbud No. 44 Tahun 2019, khususnya pasal 11 ayat (1), yang memuat 4 jalur pendaftaran peserta didik, yakni zonasi, afirmasi, perpindahan tugas orang tua/wali, dan prestasi. Pasal 24 ayat (1). Peraturan Mendikbud yang sama memuat pula mengenai kriteria seleksi pada jalur Zonasi dengan prioritas usia, disusul dengan kriteria jarak tempat tinggal terdekat dengan sekolah.

Terkait langkah Pemprov DKI Jakarta yang mengurangi persentase yang diterima pada jalur Zonasi dari 50% menjadi 40% dan menambah persentase jumlah yang diterima melalui jalur Afirmasi dari 15% menjadi 20% untuk memberikan kesempatan lebih besar diterimanya peserta didik dari keluarga tidak mampu, penulis tidak menemukan pasal dalam Peraturan Mendagri tersebut yang menjadi dasar hukumnya.

Terkait dengan pernyataan Nahdiana bahwa calon-calon peserta didik dari keluarga tidak mampu namun berprestasi dapat bersekolah di sekolah swasta dengan bantuan dana KJP (Kartu Jakarta Pintar), biaya pendaftaran masuk sekolah kemungkinan besar bisa lebih dari itu, termasuk uang sekolah bulanannya, besaran dana KJP yang diberikan tiap bulannya. Penerima KJP menerima dana sebesar Rp. 300.000,- untuk SMP dan Rp. 420.000,- untuk SMA. Pemberian dana KJP ada batasnya. Sementara itu, biaya pendaftaran masuk sekolah swasta kemungkinan bisa jauh lebih besar, belum termasuk uang sekolah bulanannya.

Kemdikbud dan Dinas Pendidikan di berbagai daerah sebaiknya jangan "bereksperimen" dalam menerapkan seleksi penerimaan peserta didik baru di tingkat SMP dan SMA. Peraturan Mendikbud yang mengatur pelaksanaan penerimaan peserta didik baru ini belum lama ditandatangani, yakni pada 10 Desember 2019. Kemdikbud dan Dinas-dinas Pendidikan di seluruh Indonesia, termasuk DKI Jakarta, langsung menerapkannya sebelum tahun ajaran berikutnya tanpa melakukan komunikasi terlebih dahulu ke publik, melakukan familiarisasi atau mensosialisasikannya. Penulis memahami semangat Peraturan Mendikbud  tersebut, yakni untuk menghilangkan favoritisme sekolah-sekolah tertentu dan di masa depan, diharapkan tidak akan ada pembedaan sekolah negeri favorit, sekolah negeri biasa, dan sekolah negeri yang tidak bagus. Namun imbas dari implementasi peraturan ini sesungguhnya sangat besar.

Imbas yang mungkin luput dari perkiraan Menteri Nadiem adalah imbas psikologis implementasi peraturannya tersebut bagi anak-anak kita tersebut. Calon peserta didik berusia 14 tahun yang pernah tidak naik kelas semasa SD dan belajarnya akan dapat dengan mudah diterima di sekolah negeri mana pun dengan "keunggulan usianya". Sementara yang berprestasi yang rata-rata usianya di atas 12 tahun beberapa bulan mengalami kesulitan diterima di sekolah negeri karena banyak temannya yang berusia lebih tua. Hal tersebut akan mempengaruhi kejiwaan siswa-siswi berusia lebih muda di kelas 5 SD dan kelas 8 SMP, terkait dengan pertanyaan perlunya mereka belajar giat dan berprestasi.

Imbas lainnya adalah pada masa depan lembaga-lembaga bimbingan belajar (bimbel) di tanah air, yang mengandalkan pemasukan usahanya dari kegiatan membimbing siswa-siswi untuk meningkatkan kemampuan mereka di sekolah. Pemasukan lembaga-lembaga bimbel akan berkurang, sehingga lembaga bimbel terpaksa akan mengurangi pegawainya untuk dapat bertahan, atau bangkrut.

Perlu diperhatikan, yang menjadi obyek di sini adalah anak-anak kita, harapan Indonesia dan generasi pemimpin bangsa masa depan. Mereka seyogyanya tidak dijadikan "kelinci percobaan" suatu kebijakan yang belum teruji. Diperlukan kearifan, pertimbangan, termasuk perhitungan dampak atau imbas dalam penerapan atau penanganan penerimaan peserta didik baru pada tahun-tahun yang akan datang.

KOMENTAR