Merdeka Belajar, Merdeka dari Perangkap Kemiskinan

Hila Bame

Monday, 31-08-2020 | 12:28 pm

MDN
Nining S.Pd.,(dua dari kiri) Guru di SDN Cawang 04 Jakarta Timur [Foto: Inakoran.com]

Oleh: Rosalia Marcha Violeta, Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi FEB Universitas Indonesia(FEBUI) Angkatan 2018

 

Jakarta, Inako

Tepat tiga perempat abad telah berlalu sejak kita merebut dan mempertahankan hak untuk mengidentifikasi diri sebagai bangsa Indonesia yang berdaulat.

Akan tetapi, sudahkah kita sebagai individu sungguh-sungguh merdeka?

Jika definisi ‘merdeka‘ adalah terbebas dari hal-hal yang menjerat, maka secara ekonomi masih terlalu sedikit dari kita yang sudah mencapai tahap tersebut.

Langkah mundur

(Hampir) satu dari sepuluh atau 9,22 persen orang Indonesia hidup terperangkap dalam genggaman kemiskinan (BPS, 2019).

Bila disandingkan dengan negara-negara tetangga—seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam—kinerja Indonesia tidak tampak mengesankan atau penuh harapan. Kendati demikian, tingkat kemiskinan Indonesia menunjukkan tren yang terus menurun sejak empat dekade yang lalu.

Pada awal era 1970-an, besarnya angka tersebut lebih dari enam kali lipatnya statistik sekarang yaitu 60 persen.

 

Namun kini, pandemi COVID-19 memojokkan kita dan mengancam untuk merenggut prestasi yang sudah susah payah diupayakan tersebut.

 

Banyak orang menahan napas saat BPS mengumumkan angka pertumbuhan ekonomi triwulan II 2020. Dibandingkan triwulan II 2019, ekonomi Indonesia anjlok sebesar 5,32 persen. Ini sama saja petaka bagi banyak orang.

 

Diperkirakan bahwa kemungkinan akan tercipta 1,2 juta orang miskin baru pada akhir 2020.

Parahnya lagi, ini adalah prediksi yang paling optimis dari sejumlah kemungkinan yang ada. Proyeksi terburuk menyatakan 8,5 juta orang akan jatuh miskin dan ini berarti kemajuan Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir akan terhapuskan begitu saja (Suryahadi, Izzati, & Suryadarma, 2020).

Bukan sekadar jargon

Kekacauan yang ditimbulkan oleh pandemi ini harus dibenahi. Dalam jangka pendek, pemerintah telah menyiapkan perluasan bansos dan berbagai insentif finansial.

Pada jangka menengah ada beberapa wacana yang patut dilaksanakan: reformasi pajak untuk menjaga ketersediaan ruang fiskal, meningkatkan daya saing untuk bersiap menadahi investasi, dan melakukan reindustralisasi.

BACA JUGA: 

Reformasi Pajak: Stabilisator Pembangunan Pascapandemi

Dalam jangka panjang, ada satu formula yang populer di mata masyarakat sekaligus menjadi salah satu agenda prioritas pemerintah berdasarkan RPJMN IV, yaitu peningkatan kualitas SDM.

Lantas, bagaimana cara mewujudkan rencana ini? Selain aspek kesehatan yang esensial, satu faktor lain yang memegang peran penting adalah pendidikan.

 

Perlu dipahami bahwa mengenyam pendidikan akan meningkatkan produktivitas seseorang secara signifikan.

Dalam ilmu ekonomi, diketahui bahwa tingkat produktivitas menjadi variabel utama penentu tingkat gaji. Selain itu, seseorang yang berpendidikan tinggi juga memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk bekerja di sektor formal, dan sebaliknya.

Kedua hal ini menjadi penting karena dua alasan.

 

Pertama, pendidikan adalah alat mobilitas sosial vertikal. Peningkatan pendapatan karena tingginya tingkat pendidikan akan membantu memutus rantai kemiskinan dan menciptakan kelas menengah (middle class) baru.

Hingga kini kelas menengah Indonesia baru sebesar 20% dari populasi (Bank Dunia, 2020). Kelas menengah tersebut perlu diekspansi untuk mencakup lebih banyak orang.

 

Kedua, pekerja di sektor formal cenderung lebih resilien dalam menghadapi guncangan ekonomi.

Saat ini, hanya 55,3 juta penduduk usia kerja di Indonesia yang bekerja di sektor formal.

Sedangkan, pekerja sektor informal justru mendominasi dan mencapai 74,1 juta jiwa (BPS, 2019).

Mereka yang berada di sektor informal lebih rentan terhadap krisis karena mereka tidak diakui dan dilindungi oleh kerangka hukum dan peraturan (ILO, 2002).

 

Dalam kata lain, pendidikan bukan hanya membantu orang memanjat keluar dari jurang kemiskinan, tapi juga menjadi jaring pengaman yang menjaga agar orang tidak jatuh kembali ke dalamnya.

Memang belakangan ini pendidikan kerap dianggap sebagai panasea bila kita berbicara tentang pembangunan ekonomi. Tapi, pendidikan yang seperti apa kah yang benar-benar efektif mengentaskan kemiskinan?

Obat yang tepat

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu mendiagnosis terlebih dahulu penyakit yang dialami oleh sistem pendidikan Indonesia dari yang paling dasar. Hasil survei dari Kalbar dan NTT yang dilakukan oleh Bank Dunia (2019) menunjukkan bahwa masih terdapat setidaknya dua problema utama pada pendidikan dasar di Indonesia.

Padahal, sejak tahun 2009 Indonesia tidak tanggung-tanggung mengalokasikan seperlima porsi APBN ke sektor pendidikan sesuai pasal 31 UUD 1945.

 

Pertama, hasil belajar siswa tidak mencerminkan lama sekolah yang telah ditempuh.

Angka Harapan Lama Sekolah (HLS) sudah mencapai 12,3 tahun, tetapi itu hanya setara 7,9 tahun jika disesuaikan dengan kualitas pembelajaran yang dicapai (Afkar, 2020).

Kedua, ada ketimpangan hasil belajar antara wilayah kota dan desa.

Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI, 2017) menunjukkan bahwa provinsi-provinsi di wilayah Timur memiliki lebih banyak siswa yang performanya rendah.

 

Ternyata, pokok permasalahan ada pada kedua sisi dalam pasar pendidikan dasar ini.

Dari sisi penawaran, tingkat ketidakhadiran guru masih tinggi. Di sisi permintaan, kemiskinan masih menghalangi calon siswa untuk mendaftar atau melanjutkan sekolah (Bank Dunia, 2019).

 

Menilik lebih dalam pokok kedua, pendidikan dapat dipandang sebagai investasi yang baru memberikan imbal hasil pada jangka panjang.

Dapat dipahami bahwa sebagian orang akan memutuskan untuk bersekolah lebih sedikit. Ini bisa diartikan dengan berhenti sekolah lebih awal atau terlambat datang atau membolos di waktu-waktu tertentu.

Hal tersebut terpaksa dilakukan demi mencari nafkah sebab seringkali ini menjadi masalah hidup dan mati bagi mereka.

 

Sebagai contoh saja, ditemukan bahwa siswa-siswi di Rote, NTT dan Fakfak, Papua Barat yang harus terlambat atau membolos sekolah pada masa panen nira dan pala. Mereka melakukannya bukan karena semata-mata orang tua melarang bersekolah.

Panen tersebut berlangsung hanya selama tiga bulan, tetapi dapat menghidupi keluarga mereka selama satu tahun ke depan (Hardono, 2020). Sederhananya, mereka tak mampu secara ekonomi untuk mengutamakan pendidikan dalam trade-off tersebut.

 

Melihat betapa pentingnya pendidikan dan seberapa besar hambatan yang dihadapi banyak siswa Indonesia dalam meraihnya, perlu ada solusi-solusi yang menyasar langsung ke akarnya. Berikut adalah beberapa di antaranya yang patut dilirik oleh pemerintah.

Pertama, pengadaan tunjangan guru yang berbasis kinerja (Bank Dunia, 2019). Studi Bank Dunia (2017) menunjukkan bahwa tunjangan profesi guru sebesar Rp55 T yang digelontorkan tidak meningkatkan kualitas hasil belajar meski membuat guru makin sejahtera.

Tunjangan berbasis kinerja akan menginsentivisasi guru untuk mencari metode pengajaran yang paling efektif bagi murid-muridnya.

 

Kedua, pembagian dana pendidikan perlu merata dan disertai dengan pembangunan kapasitas pemerintah daerah. Desentralisasi saja tidak cukup. 67% anggaran pendidikan sudah diserahkan kepada pemda, tapi transfer kepada siswa masih timpang antardaerah.

 

Program Merdeka Belajar juga menyerahkan pelaksanaan USBN ke sekolah dan menyederhanakan rencana belajar. Namun, daerah yang lebih kecil cenderung memiliki kemampuan yang lebih rendah dalam mengelola kebijakan pendidikan (Afkar, 2020).

 

Ketiga, aksi afirmasi yang lebih luas untuk daerah 3T. Salah satu bentuknya adalah transfer dana Program Indonesia Pintar yang disesuaikan dengan beberapa hal tergantung kondisi daerah tempat tinggal.

Beberapa di antaranya adalah tingkat kemiskinan, capaian pembelajaran, serta ketersediaan infrastruktur keras dan lunak.

 

Sesegera mungkin, diharapkan kebijakan pendidikan yang efisien, efektif, dan inklusif dapat diimplementasikan untuk memitigasi dampak pandemi terhadap peningkatan kemiskinan di Indonesia.

Dengan begitu, kita dapat segera kembali melangkah maju di jalur pembangunan dan memerdekakan lebih banyak orang.

BACA JUGA:  

Mahasiswi FEB UI angkatan 2018 Raih Juara II Lomba Penulisan Artikel dalam rangka memperingati Hari Pajak Tahun 2020

 

TAG#UI, #ROSALIA, #FEBUI, #UI2018

161651520

KOMENTAR