Adanya Pengakuan Bersalah Dan Penyesalan, Menjadi Syarat Pemberian Status Justice Collaborator
Sudah sekian lama perdebatan seputar status Justice collaborator terhadap seorang terdakwa bergulir di kalangan para ahli hukum, penegak hukum dan praktisi hukum di tanah air.
Perdebatan ini kembali mengemuka, semenjak terdakwa kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto, mengajukan permohonan ke KPK untuk menjadi justice collaboator dalam kasus yang merugikan keuangan negara hingga Rp 2,3 triliun itu.
Sebagaimana diketahui, beberapa waktu lalu, Setya Novanto mengajukan diri sebagai justice collaborator kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kaitan dengan kasus e-KTP.
[caption id="attachment_19954" align="alignleft" width="500"] Dr. Inosentius Samsul, Ketua Panitia Focus Group Discussion [Inakoran.com/Ina TV][/caption]Namun, hingga saat ini, lembaga anti korupsi itu belum menjawab permohonan itu dengan alasan, KPK masih mempelajari dengan cermat esensi dari permohonan terdakwa, sebelum memutuskan menerima atau menolak permohonan itu.
Namun, terlepas dari apapun jawaban KPK kelak, yang pasti hingga saat ini, dalam hukum positif Indonesia, eksistensi justice collabrorator belum diatur secara komprehensif, sehingga keberadaannya dimaknai secara berbeda-beda oleh para penegak hukum.
Akan tetapi, meski belum diatur secara komprehensif dalam sebuah uandang-undang, menurut guru besar hukum pidana Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, pemberian justice collaborator kepada seorang terdakwa harus didasari oleh adanya pengakuan bersalah dan penyesalan dari yang bersangkutan atas perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya.
Tanpa adanya pengakuan bersalah dan penyesalan, kata Prof. Tuti - panggilan akrab Harskristuti - justice collaborator sulit diberikan.
Hal itu diungkapkan oleh Prof. Dr. Harkristuti, saat menjadi pembicara dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan topik Justice Collaborator, yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni S3 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta, Kamis (15/2/2018).
Selain Prof. Harksristuti, diskusi itu juga menghadirkan Hakim Agung Prof. Dr. Gayus Lumbun dan Komisioner LPSK, Lili Pintauli Siregar, SH,MH.
[caption id="attachment_19962" align="alignleft" width="500"] Dr. Aartje Tehupeiory, SH. MH, Ketua Divisi Media, Focus Group Discussion [Inakoran.com/Ina TV][/caption]
Sementara itu, Prof. Gayus Lumbun dalam paparannya mengatakan, saat ini setidaknya ada tiga produk hukum yang menjadi norma dasar dari justice collaborator, yakni SEMA No.04 Tahun 2011, Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan LPSK, dan UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang kemudian direvisi dengan UU No.31 Tahun 2014.
Akan tetapi, lanjut Prof, Gayus, kesemua norma itu tidak memberikan panduan, mekanisme dan jaminan perlindungan terhadap posisi justice collaborator secara tuntas.
Diskusi yang dipandu Dr. Ahmah Sofian, akademisi Universitas Bina Nusantara itu, juga dihadiri oleh para mahasiswa S2 hukum UI dan para praktisi hukum yang saat ini berkarya di berbagai lembaga negara yang ada di Indonesia saat ini.
Sementara itu, dalam sambutan awal diskusi, Ketua Panitia Penyelenggara, Dr. Inosentius Samsul, SH, MH mengatakan, diskusi itu bertujuan mengelaborasi pemikiran dari para pakar hukum yang kelak bisa dituangkan dalam bentuk rekomendasi kepada lembaga penegak hukum terkait tema justice collaborator yang masih terus diperbincangkan banyak kalangan hingga saat ini.
[embed]https://youtu.be/rDSu91WTVfY[/embed]
TAG#Ui, #Justice Collaborator, #Fgd
182242259
KOMENTAR