Merespons Situasi Papua: Penurunan Pasukan TNI/Polri dan Wacana Mengelompokkan KKB sebagai Kelompok Teroris
JAKARTA, INAKORAN
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] dan Imparsial, serta sejumlah organisasi masyarakat sipil di Papua menyayangkan tindakan pemerintah di sektor pertahanan dan keamanan dalam merespons situasi yang terjadi di Papua.
Dalam beberapa bulan terakhir, situasi di Papua, terutama di daerah konflik seperti Intan Jaya dan Nduga kian mencekam. Pasalnya, konflik bersenjata antara TNI/Polri dengan Tentara Pembebasan Nasional (TPN)-Organisasi Papua Merdeka (OPM) kerap kali memunculkan korban dari warga sipil. Kehadiran negara dari waktu ke waktu di Papua hanya menambah luka bagi Orang Asli Papua dengan langkah yang kontradiktif dalam mengambil keputusan.
Hal ini terlihat dari penurunan pasukan TNI/Polri serta wacana redefinisi KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) dan TPN-OPM sebagai organisasi teroris.
Kedua langkah tersebut menunjukkan masih kuatnya cara pandang sekurititasasi terhadap Papua sehingga Pemerintah tidak hanya gagal dalam memahami akar konflik Papua yang sebenarnya, tapi juga membuka jalan bagi penggunaan pendekatan keamanan (baca: militeristik) dalam penyelesaiannya.
Situasi di Papua akan kian semakin memburuk dengan wacana terkait redefinisi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan Tentara Pembebasan Nasional (TPN) – Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang ingin dimasukkan ke dalam klasifikasi organisasi teroris. Wacana mengelompokkan KKB dan TPN-OPM dalam klasifikasi organisasi teroris adalah langkah yang terburu-buru serta berpotensi abuse of power.
Pasalnya, ada problem akuntabilitas dalam penurunan pasukan TNI/Polri. Kami melihat bahwa wacana tersebut hanya menjadi celah bagi negara untuk melegitimasi langkah TNI dalam keamanan domestik melalui UU Terorisme yang berakibat pada makin buruknya situasi di Papua.
Hal ini kami simpulkan dari berbagai catatan kami yakni bahwa TNI mencoba kembali masuk ke ranah sipil, seperti tidak berjalannya restrukturisasi koter (komando teritorial) yang justru semakin berkembang sejalan dengan pemekaran provinsi dan kabupaten yang berpotensi dimanfaatkan sebagai instrumen politik, dan peradilan militer yang sejauh ini belum dapat menampilkan dirinya sebagai sebuah mekanisme peradilan yang paling efektif dan obyektif dalam mengadili kasus-kasus yang melibatkan anggota TNI.
KOMENTAR