Mungkinkah Pemilu 2024 Kembali ke Sistem Tertutup

Hila Bame

Friday, 30-12-2022 | 13:14 pm

MDN
Adlan Daie

 

 

Oleh. : H. Adlan Daie
Pemerhati politik dan sosial keagamaan

JAKARTA, INAKORAN

Judul di atas sedikit hendak merespon pernyataan ketua KPU RI, Hasyim Asy'ary tentang kemungkinan pemilu 2024 kembali ke "sistem tertutup", yakni "hanya coblos partai tanpa daftar caleg dalam kertas suara pemilu" sebagaimana dikutip viral di sejumlah media nasional.


Selain itu dalam kerangka sharing perspektif yuridis untuk menjawab "kegalauan" sejumlah bakal caleg,  khususnya rekan rekan penulis di Jawa Barat dari lintas partai baik via aplikasi "what ap" maupun berdiskusi langsung bersama penulis.


Pernyataan ketua KPU RI di atas terkait adanya gugatan dari sejumlah pihak, yaitu sdr. Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Probolinggo Jatim), Yuwono Priadi (Anggota partai Nasdem) dan dua warga negara lainnya ke Mahkamah konstitusi (MK) bahwa sistem "proporsional terbuka" (dengan daftar caleg) pada pasal 168 ayat 2 UU Pemilu no 7 tahun 2017 "bertentangan" dengan UUD 1945  pasal 1 ayat 1, pasal 18 ayat 3, pasal 22E ayat 3 dan pasal pasal lain terkait.


BACA:  

Megawati Soekarno Puteri dan Pilpres 2024



Dalam konteks proses gugatan ke MK di atas itulah Hasyim Asy'ary, ketua KPU RI berbicara tentang kemungkinan pemilu 2024 kembali ke sistem "proporsional tertutup" (coblos partai bukan caleg). "Kepada pihak pihak yang hendak mencalonkan diri sebagai caleg agar tidak terburu buru, semua pihak menunggu keputusan MK tersebut", ujarnya (Cnnindonesia, 29/12/2022).


Sependek ingatan penulis keinginan pemilu kembali ke "sistem propsional tertutup" di atas telah menjadi keputusan resmi hasil kongres IV PDIP di Bali tahun 2015 dan kongres V PDIP tahun 2019 - juga di Bali -  dengan sejumlah argument politik. Akan tetapi hingga saat ini PDIP tidak menindaklanjuti dalam proses politik legislasi di DPR RI dan tidak mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dulu PKB dibawah kepemimpinan ketua umum H. Abdul Muhaimin Iskandar dan sekretaris jenderal Imam Nahwari pernah mengajukan gugatan ke MK untuk mengembalikan sistem "terbuka" ke sistem "tertutup' dengan argument konstitusional bertentangan dengan amanat UUD 1945. 


Gugatan tersebut ditolak MK bukan karena substansi argument konstitusionalnya akan tetapi PKB menurut MK tidak memiliki "legal standing" atau tidak memiliki posisi hukum untuk mengajukan gugatan karena PKB ikut terlibat dalam pengesahan sistem "terbuka" di atas dalam proses politik melalui wakil wakilnya di DPR RI (Viva co.id, 17/5/2015).


Terlepas dari pesoalan di atas pertanyaannya mungkinkah gugatan di atas yang tengah berproses di MK akan "dikabulkan" MK sehingga sistem pemilu kembali ke sistem "tertutup" - selain masih terdapat susulan gugatan pihak pihak lain dalam substansi yang sama tentang pemilu dengan sistem "terbuka" ?


Penulis tentu sangat menyadari bukan pakar hukum tata negara dan bukan sarjana berlatar belakang ilmu hukum akan tetapi penulis telah meneliti hampir seluruh dokument keputusan MK terkait regulasi pemilu dalam konteks MK sebagai lembaga "uji konstitusionalitas" undang undang terhadap UUD 1945.


Dalam pandangan yuridis penulis sistem "terbuka" dan sistem "tertutup" adalah varian pilihan legal pembentuk undang undang, yakni pemerintah dan DPR RI tidak bertentangan dengan ketentuan UUD 1945 pasal pasal tersebut di atas kecuali jika caleg bediri sendiri tidak dicalonkan partai politik peserta pemilu.


Dengan kata lain, ketentuan undang undang pemilu no 7 tahun 2017 dalam prinsipnya tetap menyebutkan bahwa peserta pemilu adalah partai politik sesuai ketentuan UUD 1945 sebagaimana disebutkan pasal pasal di atas. Persoalan pilihan varian "terbuka" dan tertutup" adalah wewenang pembentuk undang undang, yaitu pemerintah dan DPR RI tidak dapat digugat ke MK dan MK tidak memiliki kewenangan merubahnya


Dalam kerangka itulah respon penulis terhadap pernyataan ketua KPU RI di atas dan selebihnya mari kita tunggu dinamika regulasi politik selanjutnya.

 

KOMENTAR