NTT VS Diskriminasi Geografis

Oleh: Silvester Nong M. Advokat
PimpinanYBBH VERITAS Jakarta.
Jakarta, Inako
JANGAN GUNDULI AKU,
JANGAN KULITI AKU,
JANGAN KERUK PERUTKU.
Dari aspek geografis apabila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia, maka NTT terkenal dengan kondisi alam yang tandus, kering, bebatuan, padang gurun yang maha luas, topografi yang berbukit bukit terjal dan berkelok kelok, curah hujan sedikit, panas bekepanjangan, dan miinus minus lainnya. Oleh karenanya alamnya nampak sangat gersang dan terasa panas hampir sepanjang musim.

Beruntung bahwa NTT terdiri dari gugus pulau sedang dan kecil, sehingga masih ada angin laut yang sepoi sepoi menerpa daratan.
Dengan kondisi alam yang demikian itu sudah sepatutnya pemimpin NTT baik pada tingkat provinsi maupun Kabupaten/Kota seia-sekata mencanangkan Nusa Hijau sebagaimana dulu pernah dicanangkan dan dikumandangkan oleh Alm. Ben Boy ketika menjabat sebagai Gubernur NTT.

Mengapa bumi NTT harus diselimuti? Mengapa bumi NTT harus dihijaukan? Agar mata air yang sudah kering, kembali mengalir; agar tanah dan tanaman yg sudah gersang kembali subur; agar ketika hujan dan badai menerpa bumi NTT, erosi bisa dicegah, sambil kita menabur emas hijau untuk kita dan akan kita wariskan kepada anak cucu kita.
Maka itu, jangan gunduli bumi NTT, jangan kuliti bumi NTT, jangan keruk isi perut bumi NTT, hanya sekedar mendulang intan permata, tatapi sebaliknya merusak bumi NTT, sekaligus memghancurkan nasib dan masa depan anak cucu kita.
Ingat, dimana-mana, penambang cenderung serakah, semakin ia menambang, semakin ia melihat begitu banyak hasil yg diraih, maka ia tidak akan pernah berhenti menambang. Ia lebih didominasi oleh naluri primitif yg sedang bergejolak untuk terus menambang.
Memang, tidak bisa dipungkiri, bahwa selama tabang beroperasi, ada dinamika hidup disana, ada tenaga kerja yg terserap, ada perputaran uang disana, ada peningkatan pendapatan perkapita bagi masyarakat di sekitarnya, ada peningkatan PAD melalui pajak bagi daerah, dll.
Akan tetapi pada saat yang sama sesungguhnya kita sedang membutakan mata kita dan mentulikan telinga kita, bahkan mengkatupkan suara hati kita, sambil merancang bangun jembatan menuju kehamcuran; yakni ketika tambang berhenti beropetasi, maka kampung yg dulunya berubah menjadi kota, kelak bagaikan kota mati, kota yang tidak bertuan. denyut nadi perekonomin terhenti. Pendapatan perkapita turun ke titik nadir, PAD kembali melorot tajam.
Bahkan lebih ekstrim lagi tatanan adat dan budaya kita yang dulu pernah ada, kini tinggal kenangan. Ketika itu bukan lagi emas, intan, permata yg kita raup, akan tetapi menuai badai yang tidak berksudahan.
BACA JUGA: 512 Paket Sembako dari Bank Mandiri untuk Keluarga Besar Maumere se-Jakarta (KBM)
Atas dasar permikiran yg demikian itu, maka gerakan anti tambang baik dari masyarakat, juga dari lembaga gereja dan LSM selama ini patut diberi apresiasi, dan layak mendapatkan perhatian sungguh sungguh dari Pemerintah sebagai penentu kebijakan dalam menata lingkungan alam, sosial, budaya dan ekonomi NTT yang lebih baik dan lebih bermartabat ke depannya.
Dengan demikian sudah tepat, apabila Gubernuar NTT mendukung penolakan tambang kapur di Manggarai Timur oleh masyarakat setempat.
Mamang kita juga tidak memungkiri, bahwa bagi daerah miskin seperti NTT butuh investasi, butuh campur tangan pihak luar untuk paling tidak memperbaiki nasib kita dari pra menjadi sejahtera., Namun demikian, tidak boleh kita lupakah bahwa sejahteraan itu tidak harus merusak alam dan lingkungan. Sejahtera itu harus selaras alam dan dapat diwariskan kepada anak cucu kita.
BACA JUGA: Kalangan Difabel di Kota Pekalongan Terima Bantuan Paket Sembako
Dengan demikian, daripada kita gunduli bumi NTT, kita kuliti bumi NTT, kita keruki perut bumi NTT, alangkah bijaksananya jika kita selimuti bumi NTT dengan mulai menggelorakan gerakan menanam, menanam dan menanam.
HIJAU NUSA-KU,
SEJAHTERAHLAH NTT-KU.
TAG#SILVEST NONG, #NTT
136457480
KOMENTAR