Pancasila 1 Juni dan Problem Kebangsaan Antara Cebong Versus Kadrun

Hila Bame

Wednesday, 31-05-2023 | 12:43 pm

MDN

 

 

Oleh : H. Adlan Daie
Pemerhati politik dan sosial keagamaan.

JAKARTA, INAKORAN

Saling tuding di antara sesama anak bangsa dengan narasi "binatangisme politik" seperti "cebong" versus "kadrun" dan tudingan "radikal radikul" secara ekstrim adalah refleksi kekinian dari konflik ideologis "memori lama" tentang perdebatan keras terkait dialektika historis perumusan Pancasila yang ditarik tarik tafsirnya ke "kiri" dan ke "kanan", tidak diletakkan pada Pancasila versi final 18 Agustus 1945.


Karena itu tanpa mengurangi hikmat kita memperingati 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) no 24 tahun 2016 merujuk pada pidato Bung Karno 1 Juni 1945 tentang Pancasila sebagai dasar negara dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia - kita tetap letakkan spirit Pancasila kita pada  Pancasila 18 Agustus 1945 hasil konsensus final para pendiri bangsa.


Dalam dialektika historis perumusan Pancasila dan lima sila di dalamnya memang rumit, panjang dan "konfliktual" secara ideologis.


Rumusan "teks" Pancasila versi Bung Karno dalam Pidato 1 Juni adalah 1) nasionalisme, 2) perikemanusiaan/internationalite, 3) mufakat/demokrasi, 4) kesejahteraan, dan 5)  ketuhanan yang berkebudayaan.


Menurut Bung  Karno dalam pidato tersebut lima sila di atas dapat diperas menjadi "trisila" (sosio nasionalisme, sosio demokrasi dan ketuhanan) dan dapat diperas kembali menjadi "ekasila", yakni gotong royong.


Ini tentu berbeda dengan "teks" Pancasila 22  Agustus 1945, hasil rumusan tim 9 diketuai Bung Karno dengan 7 anggota dari perwakilan tokoh ormas Islam, sering disebut Pancasila versi "Piagam Jakarta" 22 Juni 1945 dan dipandang "lebih" berpihak pada faksi "Islam politik". Rumusannya : 


1. Ketuhanan "dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi para pemeluknya"
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5..Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Pada 18  Agustus 1945 sehari setelah proklamasi kemerdekaan RI teks Pancasila versi 22 Juni 1945 di atas "direvisi" ulang. Rumusan sila pertama yang berbunyi "ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syariat islam bagi para pemeluknya" dihapus dan disepakati final diganti dengan kalimat "ketuhanan yang Maha Esa" tanpa merubah sedikit pun urutan sila dan teks sila sila berikutnya.


Pancassila 18 Agustus 1945 inilah konsensus final.para pendiri bangsa sebagai dasar negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.


Dr. Nurcholish Madjid,  tokoh pemikir muslim Indonesia menyebut Pancasila 18 agustus 1945  ini dengan istilah "kalimatun sawa'", titik temu kompromistis antara faksi politik "nasionalis"(Pancasila versi 1Juni)  dan faksi politik "islam" (Pancasila versi "Piagam Jakarta" 22 Juni 1945.


Alamsyah Prawira Negara, mantan menteri Agama RI menyebut Pancasila 18 Aguatus 1945 di atas sebagai "hadiah terbesar" Umat Islam bagi kokohnya intergasi kebangsaan.


Inilah yang harus dijaga dan dirawat bersama oleh para elite politik kita hari ini untuk mengukuhkan integrasi kebangsaan secara lahir batin dan menghindari memonopoli tafsir Pancasila hanya dalam konteks Pancasila 1Juni (dengan konsep "trisila" dan "ekasila" Bung Karno).


Setiap monopoli tafsir Pancasila hanya ditekankan pada Pancasila 1 Juni di atas akan selalu berbenturan dengan pihak pihak pro Pancasila  "Piagam Jakarta" 22 Juni 1945 (dengan tekanan "syariat islam") dan atau sebaliknya. 


Akibatnya narasi konfliktual antara "cebong"dan "kadrun"  yang tumpah ruah di media sosial akan makin tajam dan mengkhawatirkan kohesi dan tenun kebangsaan kita.


Selamat hari lahir Pancasila 1 Juni, semoga Pancasila tetap Jaya dan Indonesia makin berdaya
 

 

KOMENTAR