Pemerintah Larang Politik Praktis Dibicarakan di Rumah Ibadah

Inakoran

Thursday, 10-05-2018 | 02:48 am

MDN
Prof Dr. Jimly Asshiddiqie, Guru Besar Hukum Tata

Jakarta, Inako



Suhu Politik memanas di tanah air menjelang pemilihan umum presiden yang akan dilangsungkan April 2019 nanti.



Isu agama menjadi salah satu isu yang paling sering digunakan untuk menggaet suara pemilih atau menjatuhkan lawan politik. Karena itu Pemerintah melalui Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin hari Selasa (8/5) melarang penggunaan rumah ibadah untuk membicarakan atau membahas politik praktis.

"Kalau sudah masuk wilayah politik praktis, setiap kita pasti aspirasinya berbeda-beda meskipun kita satu agama. Dan kalau itu dibicarakan di rumah ibadah, maka umat akan terbelah dan ini tidak hanya menganggu kehidupan keagamaan, tapi sendi-sendi kehidupan kita bernegara itu akan runtuh karena bangsa ini bangsa yang religius, yang ditopang oleh nilai-nilai agama," tegas Menag.

Masyarakat Indonesia memang sangat religius karena tidak ada yang bisa melepaskan diri dari nilai-nilai agama dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Apalagi hampir semua aspek kehidupan di Indonesia kaya akan ritual keagamaan dan nilai-nilai agama. Ironisnya banyak yang menyalahgunakan agama dengan mempolitisirnya dan menjadikan agama sebagai komoditas untuk kepentingan politik praktis atau pragmatis ungkapnya.

[caption id="attachment_27957" align="alignleft" width="336"] Komaruddin Hidayat,
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta [ist.][/caption]Guru Besar UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat, menilai polarisasi kian kental saat ini karena Indonesia memang sangat majemuk, baik dari segi etnis, agama, kepercayaan, budaya, dan bahasa. Meskipun demikian menurutnya polarisasi itu masih jauh lebih baik dibanding yang terjadi di Timur Tengah dimana konflik terbuka terjadi di akar rumput. Di Indonesia, perbedaan tajam umumnya terjadi di media sosial.

"Karena dari dulu partisipasi masyarakat sudah tumbuh dan ini yang menjelaskan mengapa demokrasi di Indonesia tumbuh walaupun muslim masyarakatnya. Sedangkan Timur Tengah beberapa negara muncul setelah kejatuhan Kesultanan Utsmaniyah, kemudian dikapling-kapling oleh Italia, Perancis, Inggris, tapi di sana tidak punya tradisi partisipasi masyarakat," kata Komarudin.

Komaruddin menegaskan demokrasi itu telah berakar di Indonesia sehingga perbedaan dan keriuhan yang terjadi umumnya hanya beberapa saat menjelang pemilihan umum saja. Setelah itu situasi kembali beranjak normal.

 
 

 

KOMENTAR