Perang Dagang Untungkan ASEAN, Tapi Sayangnya Indonesia Kalah Bersaing

Sifi Masdi

Friday, 30-11-2018 | 15:00 pm

MDN
Ilustrasi kegiatan ekspor dan impor di pelabuhan [ist]

Jakarta, Inako

Perang dagang yang dikobarkan oleh Donald Trump telah membuat Amerika Serikat (AS) dan China melakukan aksi saling balas-balasan tarif bea masuk impor. Penerapan bea masuk ini dimulai sejak 6 Juli 2018.

Teranyar, AS mengenakan bea masuk sebesar 10% pada barang-barang made in China senilai US$ 200 miliar. Kebijakan ini kemudian dibalas dengan China yang menaikkan bea masuk menjadi 5-10% untuk produk Negeri Paman Sam senilai US$ 60 miliar.

Tanpa adanya resolusi antar kedua negara, tahun depan AS berpotensi mengerek naik bea masuk untuk barang-barang impor dari China senilai US$ 200 miliar tersebut, menjadi 25%. Tidak hanya itu, produk Negeri Panda lainnya pun berisiko terkena bea masuk tambahan.

Dengan tambahan bea masuk, produk-produk China kini akan lebih mahal bagi pembeli di AS (berlaku sebaliknya), perubahan arus perdagangan dan investasi dari China/AS pun tak dapat dihindari. Kemungkinan ini akan lebih besar terjadi pada China, mengingat besaran ekspor Beijing yang lebih besar dibandingkan Washington.

Lalu ke mana "perubahan arus" ini akan mengarah? Berdasarkan riset dari Bank UOB, muara dari arus ini adalah Asia Tenggara. 

Sekarang pertanyaannya, negara Asia Tenggara mana yang bisa mendulang untung paling besar? Bagaimana nasib Indonesia? Simak hasil riset yang dilakukan oleh Bank UOB berikut ini.

Tenang, Sejauh ini Belum Ada Peralihan Arus Perdagangan Yang Masif

Pertama, perlu dibahas terlebih dahulu dari sisi perdagangan. Pertumbuhan ekspor China tetap bertahan di level 2 digit, hingga bulan Oktober 2018.

Capaian ini didukung oleh adanya pengiriman pesanan barang yang mendahului jadwal yang sebenarnya (frontloading) sebelum bea masuk berlaku lebih besar, pelemahan yuan China, dan ekonomi AS yang tumbuh dengan cukup solid.

Ekspor Beijing ke Washington membukukan ekspansi sebesar 2 digit secara 6 bulan berturut-turut hingga bulan Oktober 2018. Data ini mengindikasikan bahwa perubahan arus perdagangan sejauh ini belum terlihat cukup nyata.

Berdasarkan tinjauannya pada daftar barang-barang impor AS dari China, UOB menyampaikan bahwa produk-produk yang paling terpukul oleh bea masuk adalah pupuk, kendaraan bermotor, dan mesin pengolahan logam. Ketiga komoditas itu sudah mulai mencatatkan penurunan performa ekspor.

Akan tetapi, sejauh ini penurunan itu dapat dikompensasi oleh kenaikan ekspor komoditas China lainnya, yang dilakukan secara front loading. Pasalnya, pelaku usaha ingin menghindari kemungkinan bea masuk yang lebih besar pada tahun depan.

Alhasil, hal ini tetap mendorong ekspor China tumbuh positif sejauh ini. Walaupun begitu, UOB berpendapat apabila hubungan dagang AS-China makin memburuk, bukan tidak mungkin kasus beralihnya arus perdagangan akan terjadi.

Hal ini terindikasi dari oleh penurunan tajam dari indeks Purchasing Manager Index (PMI) untuk pemesanan ekspor, yang artinya memroyeksikan lemahnya ekspor Beijing ke depan.

Berdasarkan riset dari Bank Negara Malaysia, estimasi pengalihan arus dagang dari China ke depan dapat mencapai US$ 140 miliar.

Investasi Siap Mengalir ke Negara-Negara Asia Tenggara, Nasib RI Bagaimana?

Kedua, perlu dibahas dari sisi investasi. Survei teranyar yang ditulis oleh The American Chamber of Commerce in South China menunjukkan bahwa hampir 80% dari perusahaan yang disurvei telah mengalami “dampak serius atau dampak negatif” dari bea masuk.

Akibat berkecamuknya perang dagang, nyaris setengah dari responden melaporkan hilangnya pangsa pasar, direbut oleh perusahaan dari luar negeri. Berdasarkan temuan survei, top 3 negara kompetitor perebut pasar itu adalah Vietnam, Jerman, dan Jepang.

Situasi ini lantas berdampak pada keputusan investasi perusahaan-perusahaan tersebut, di mana lebih dari 60% perusahaan kini menunda atau membatalkan investasi ke China. Sejumlah perusahaan dengan persentase yang sama juga mempertimbangkan relokasi ke industri pengolahan di luar China.

Kawasan Asia Tenggara merupakan pilihan utama tujuan relokasi bagi sebagian besar perusahaan, mengindikasikan adanya secercah cahaya bagi kawasan ini.

Bahkan sebelum meletusnya perang dagang AS-China, perusahaan asing (termasuk China) sudah melirik negara-negara Asia Tenggara untuk menanamkan investasinya, di mana termasuk inisiatif Belt and Road yang diusung China.

Daya tarik negara-negara kawasan Asia Tenggara berasal dari biaya produksi dan upah tenaga kerja yang lebih rendah, insentif pajak, dan akses yang lebih baik pada pasar regional.

Sektor industri pengolahan di Asia Tenggara akan menjadi penerima manfaat paling besar, mengingat sektor ini telah menerima porsi terbesar investasi dari China dalam 2 tahun terakhir.

Berdasarkan jenis industrinya, Economist Intelligence Unit (EIU) melihat Malaysia dan Vietnam akan menjadi penerima manfaat utama untuk segmen Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Pasalnya, di dua negara itu sudah hadir perusahaan elektronik utama dunia, sehingga memudahkan proses pemindahan investasi dan produksi.

Dengan alasan yang sama, Thailand dan Malaysia menjadi dua negara paling untung di segmen otomotif, mengingat sudah solidnya jaringan ekspor di duet negara tersebut. Sementara itu, Vietnam, yang memang sudah menjadi pusat produksi garmen utama di kawasan, akan mampu menjadi penerima manfaat terbesar di segmen garmen.

Bagaimana Indonesia? Sayang, EIU menilai manfaat yang akan diterima RI tidak akan sebesar negara-negara tetangga. Alasannya adalah produksi industri pengolahan yang terbatas, jaringan perdagangan internasional yang belum berkembang, serta hambatan dari segi infrastruktur dan iklim usaha.

Bahkan, Indonesia menjadi negara pecundang atau sulit menyerap aliran investasi, khusus di sektor garmen. Penyebab utamanya adalah penggunaan teknologi garmen yang cenderung sudah ketinggalan zaman, serta rendahnya minat investasi ke sektor ini.

 

KOMENTAR