Politik Anggaran Dedi Mulyadi dan Risikonya Terhadap Kab/Kota di Jawa Barat
Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
JAKARTA, INAKORAN
Politik anggaran Dedi Mulyadi Gubernur Jawa Barat terpilih tampaknya akan membongkar kebiasaan lama, mengubah struktur APBD di lingkup Provinsi Jawa Barat dan akan berdampak pula hingga desain postur APBD kab/kota di Jawa Barat.
Pasalnya dalam Undang Undang tentang Pemerintahan Daerah seorang Gubernur memiliki kewenangan "evaluasi" terhadap rancangan APBD kabupaten/kota yang telah disetujui kepala daerah (bupati/walikota) bersama DPRD di tingkat kabupaten kota di Jawa Barat.
Itulah komitmen politik anggaran Dedi Mulyadi sependek penulis cermati yang ia sampaikan di sejumlah platform media sosial ("YouTube" dan "podcast") dengan kemampuan menarasikan visi kepemimpinan dan keterampilan teknokrasi politiknya.
Dedi Mulyadi sangat kuat menarasikan hendak membongkar kebiasaan lama selama ini penyusunan APBD rata rata 60% lebih belanja birokrasi dan turunannya, hanya 30% belanja publik, hendak dibalik menjadi 70% belanja publik dan 30% belanja birokrasi dan turunannya.
Resiko dari pembalikan postur APBD di atas -; jika benar benar Dedi Mulyadi konsisten dalam komitmen implementasinya akan berdampak dua sisi secara berkebalikan :
Pertama, satu sisi, postur anggaran dalam politik anggaran Dedi Mulyadi di atas akan berdampak langsung pada pengurangan volume anggaran perjalanan dinas birokasi dan DPRD, studi banding, biaya rapat rapat, operasional dan kegiatan seremonial lainnya.
Ini jelas mengurangi "kenikmatan halal" mereka, bisa menimbulkan goncangan "cultural shock", meminjam diksi Alvin Toffler, selama ini dinikmati birokrasi dan DPRD, dua institusi dalam kultur "ketimuran" mereka diposisikan atau malah memposisikan diri sebagai "priyayi modern".
Kedua, di sisi lain, politik anggaran Dedi Mulyadi di atas linier dan "klop" dengan visi pemerintahan Presiden Prabowo disampaikan dalam beberapa kesempatan untuk mengurangi volume anggaran pada item item perjalanan dinas, studi banding dan lain lain sebagaimana disebutkan di atas.
Dalam kalkulasi Presiden Prabowo memangkas 50% anggaran pada item item di atas negara bisa menghemat hingga 15 s d 30 Triliyun. Dalam skala kab/kota bisa menghemat 1% saja dari total APBD di kab/kota masing masing maka dapat memberikan tambahan "sarapan bergizi" bagi anak anak usia sekolah.
Tapi problem APBD tidak sederhana, tidak hanya soal struktur kelembagaan dan aturan aturan teknis penyusunannya untuk memilah struktur belanja publik dan belanja birokrasi untuk penyelenggaran pemerintahan daerah dan layanan publik.
Problemnya perilaku birokrasi, terlebih jika menjadi alat politik penguasa di daerah dalam relasi deal deal politik dengan DPRD sangat lihai, piawai dan "banyak akalnya" menyelundupkan anggaran untuk aspirasi "tim sukses" atas nama program "populis"
.
Prof Soemitro, seorang ekonom, ayah Presiden Prabowo dalam antropologi politik Profesor Koentjaraningrat di masanya mengeluhkan watak birokrasi ini. Oleh Ongkhoham, seorang pemerhati birokrasi disebut warisan watak "pangreh praja" Hindia Belanda.
Bahkan dalam ilustrasi terbaru Mendagri Tito Karnavian memberikan gambaran dari anggaran penurunan "stunting" 8 milyar, hanya 2 milyar yang langsung ke sasaran anak, 6 milyar sisanya untuk biasa studi banding, rapat rapat, koordinasi dan evaluasi. Ampuuuuun.
Pertanyaannya mampu kah Dedi Mulyadi menerapkan politik anggaran di atas di tengah begitu tebalnya "cultural barriers", hambatan tebal kultural birokrasi yang bertumpang tindih dengan politik biaya tinggi yang ditanggung kepala daerah dan anggota DPRD ?
Mari kita tunggu performa kepemimpinannya di Jawa Barat mulai tahun depan dengan partisipasi publik secara bermakna bagi maslahat publik.
TAG#ADLAN, #DEDI MULYADI
184877710
KOMENTAR