Relasi Lucky Hakim dan Syaefudin Political Game Dalam Lingkaran Kasus?
Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
JAKARTA, INAKORAN
Sependek pengamatan penulis di media sosial "YouTube" dua kali Ousjh Dialambaqa, pengamat kritis yang dalam pilkada 2024 "dekat" dengan pasangan Lucky Hakim dan Syaefudin menyoal tentang Syaefudin, wakil bupati terpilih.
Pertama, tentang relasi kemesraan antara Lucky Hakim dan Syaefudin menurutnya potensial cepat berlalu dengan menunjuk "Syaefudin" sebagai titik sumbu pemantik cepat berlalunya relasi kemesraan keduanya
Kedua, baru baru ini ia membincang "dugaan" kasus korupsi yang diduga melibatkan Syaefudin saat menjadi ketua DPRD Indramayu yang dilaporkan atas nama "Gapura" ke Kejaksaan Agung dan kini dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.
Dalam teori "dramaturgi" politik Erving Goffman, perihal "pertama" di atas lumrah lumrah saja dalam relasi politik kecuali perihal "kedua" terkait "dugaan" kasus Syaefudin di atas sangat serius, potensial menimbulkan "turbulensi" dan goncangan politik.
Hal kedua ini bisa menimbulkan arus balik misalnya memunculkan kembali "dugaan" kasus lama tentang gratifikasi ke KPUD yang diduga melibatkan Lucky Hakim ( baca "RRI com", 10 juli 2024). Ini sebuah "political game" dalam lingkaran kasus atau sekedar film kartun ala "Tom and Jerry"?
Yang menarik justru kenapa persoalan ini diangkat Ousjh Dialambaqa terburu buru ke ruang publik sebelum keduanya dilantik meskipun kemungkinan potensi "pecah kongsi" antara Lucky Hakim dan Syaefudin telah menjadi "menu" diskusi di ruang aktivisme publik. "What happen?"
Bagaimana kita membaca Ousjh Dialambaqa dalam konstruksi dua hal di atas apakah sebagai pengamat politik atau sedang memainkan peran "shadow politics" untuk mempersempit ruang manuver politik Syaefudin?
Politik "the art off the possible", mengutip Otto Bismoch - politik adalah ruang kemungkinan "unlimited" untuk ditafsir publik termasuk kemungkinan tafsir politik tentang Syaefudin di atas. Itulah rumitnya politik dan disitu pula asyiknya dramaturgi politik.
Terlepas dari dinamika dan friksi politik di atas satu hal penting digarisbawahi bahwa ekspektasi publik (67%) begitu tinggi terhadap Lucky Hakim dan Syaefudin harus dimaknai bahwa harapan dan kecemasan masa depan publik dititipkan di pundak mereka untuk lima tahun ke depan.
Itulah resiko pemimpin yang dipilih dalam mekanisme sistem demokrasi, sebuah sistem dalam teori ilmuan politik modern Francis Fukuyama berdiri di atas prinsip nilai "democratic accountability", prinsip pertanggungjawaban moral politik dan maslahat publik.
Prinsip nilai politik itu pula jauh sebelum Francis Fukuyama telah ditekankan oleh Imam Al Mawardi dalam kitab "Al Ahkam Al Sulthaniyah", bahwa hulu dan hilir politik adalah teladan dan maslahat publik.
Psyikhologi publik saat ini cenderung gampang marah terhadap para "pejabat" yang tidak menjaga moral keteladanan publik sebagaimana baru baru ini terkait perilaku Gus Miftah dan Raffi Ahmad.
Keduanya ramai ramai dikecam publik justru karena menyandang jabatan "utusan khusus" Presiden yang tidak menjaga ambang batas kepantasan di ruang publik sebagai pejabat publik.
Karena itu menjadi pejabat publik tidak boleh main main betapa pun dukungan publik begitu besar saat pilkada. Mood publik mudah berbalik arah jika pemimpin yang dipilihnya tidak menjadi sumber teladan dan maslahat publik.
"Jika politik hanya dimaknai sebagai "panggung" drama - anda adalah pemimpin yang salah bermain drama", tulis Helmut Scimidt, politisi moralis Jerman abad 19.
TAG#ADLAN
188667711
KOMENTAR