Santri Miliki Peran Signifikan Jaga Keutuhan NKRI
Jakarta, Inako
Dalam rangka menyambut Hari Santri yang jatuh pada 22 Oktober dan Hari Pahlawan, Pengurus Wilayah Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama ( PW ISNU) DKI Jakarta menggelar Webinar Nasional dengan tema “Penguatan Peran Santri Dalam Menjaga Keutuhan NKRI, Jumat, 22 Oktober 2021. Webinar ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu Dr. Wawan Hari Purwanto (Jurubicara / Deputi VII Badan Intelijen Negara/BIN), Prof. Dr. Siti Zuhro, MA (Pengamat Politik / Peneliti Senior LIPI), dan Marsma TNI (Purn.) Ir. Muhammad Johansyah, M.Eng, MA (Pengamat Politik & Keamanan Internasional).
BACA JUGA: Laga El Clasico: Real Madrid Permalukan Barcelona di Camp Nou
Menurut catatan Tjoki Aprianda Siregar, Pengurus ISNU DKI Jakarta, yang bertindak sebagai moderator dalam Webinar ini, penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri memiliki tiga makna penting: pertama, mengingatkan umat Islam dan juga rakyat Indonesia untuk mengenang dan meneladani semangat dan perjuangan para ulama dan santri untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Kedua, penetapan ini merupakan penghargaan dan pengakuan negara (dan Pemerintah) terhadap peran penting ulama dan santri dalam berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
BACA JUGA: Resmikan Pabrik Biodisel Milik Haji Isam, Aktivis PMII Nilai Presiden Inkonsisten
Ketiga, untuk mengajak seluruh pemangku kepentingan membangun dan memberdayakan umat Islam melalui pesantren dengan memperhatikan posisi strategis pesantren dan santri sebagai penggerak pembangunan di pedesaan mengingat kebanyakan pesantren awalnya dibangun di pedesaan dan dekat dengan lingkungan masyarakat kelas bawah.
Terkait dengan peran penting santri dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), jubir BIN Wawan Hari Purwanto mengajak para santri untuk menghayati perjuangan para pendahulu mereka dalam menjaga NKRI. “Para santri diharapkan dapat menjadi bagian dan ikut andil dalam menjaga NKRI dari berbagai potensi ancaman yang dapat mengganggu keutuhan bangsa,” tegas Wawan.
Wawan menyebutkan sejumlah ancaman yang mengganggu kestabilan negara, antara lain: ancaman idiologi yakni kekuatan soft power yang berupaya merusak jati diri bangsa Indonesia melalui pengaruh kehidupan idiologi asing yang beraliran materialisme; pandemi Covid-19; radikalisme dan terorisme.
BACA JUGA: Menteri Teten Minta Ponpes Darussyifa Al-Fithroh Jadi Penggerak Ekonomi Umat
Tetapi Wawan yakin para santri dapat berkontribusi bersama warga masyarakat lainnya menangkal ancaman itu. Menurut Wawan, pengalaman para santri dalam menghadapi berbagai potensi ancaman bangsa dapat diaplikasikan dalam berbagai bentuk. Salah satunya adalah dengan mengamalkan nilai-nilai agama yang moderat serta mengajarkan dan menyebarkan ajaran “Ahlulsunnah wal Jama’ah atau Aswaja di tengah-tengah masyarakat.
Selain itu, para santri juga dapat terus mengembangkan ilmu pengetahuan dan wawasan kebangsaan, sehingga mampu mengembangkan wawasan Islam yang moderat dan kebangsaan dalam rangka membangun NKRI yang lebih kokoh.
Jubir BIN itu menambahkan bahwa dalam masa pandemi ini para santri ikut berkontribusi membantu pemerintah menangani Covid-19. Mereka ikut andil dalam melakukan vaksinasi Covid-19 yang digalakkan pemerintah. Karena itu, ia berharap sebelum diselenggarakannya sekolah tatap muka seluruh santri telah mendapat vaksinasi Covid-19.
Santri dan Kebinekaan
Dalam kesempatan yang sama Prof. Siti Zuhro menyinggung soal keragaman bangsa Indonesa dan kehadiran para santri sebagai elemen penting dalam membangun bangsa dan negara. Menurut Zuhro, jauh sebelum Indonesia terbentuk, Indonesia merupakan bangsa yang manjemuk, baik agama, ras, suku, bahasa dan budaya. Oleh karena itu, NKRI merupakan pilihan yang tepat.
BACA JUGA: Rencana Hongaria Bangun Universitas China Pertama di Eropa Picu Kekhawatiran
Peneliti senior LIPI itu menambahkan sebagai bagian elemen bangsa, santri sudah terbiasa hidup dalam kemajemukan. Hal itu terjadi karena, pertama, para santri yang hidup dan belajar di pesantren umumnya berasal dari beraneka daerah dan suku. Kedua, santri terbiasa terdidik dalam toleransi, kerjasama, gotong royong, dan ketaatan terhadap pemimpin (Kiai).
Dalam konteks ke-Indonesia-an, tegas Zuhro, kebiasaan santri hidup dalam kemajemukan merupakan modal dasar bagi kelangsungan NKRI. Demi menjaga keutuhan NKRI, maka perlu dukungan penuh warga negara, termasuk santri, terutama dalam menjalankan hidup berdampingan secara damai, hidup dalam toleransi, saling memahami dan saling menghormati.
“Ini yang perlu kita jaga dan berusaha untuk menghindari politisasi intoleransi. Bagi saya, kita akan mengalami kesesatan sebagai bangsa kalau kita terus berusaha mempolitisasikan intoleransi. Intoleransi merupakan ancaman terhadap kohesi sosial di tengah masyarakat. Oleh karena itu, kita harus mengedepankan saling menghormati perbedaan,” tegas Zuhro.
BACA JUGA: Ras Melanesia di antara Politik Identitas
Lebih lanjut peneliti senior LIPI itu mengatakan bahwa dalam sejarah Indonesia kaum santri menjadi penjaga gawang penting NKRI. Hal itulah yang membuat loyalitas kaum santri terhadap negara sangat tinggi. Lebih lagi Demokrasi Pancasila sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan bernegara selaras dengan nilai-nilai Islam dan pesantren.
Namun pengamat politik itu menegaskan bahwa ada sejumlah tantangan yang dihadapi santri dalam upaya menjaga dan merawat keutuhan NKRI. Beberapa di antaranya adalah: sebagai bagian dari warga negara santri selalu dihadapi oleh realitas sosial, budaya, ekonomi dan politik. Dan salah satu tantangan yang dihadapi bangsa adalah tingginya ketimpangan sosial dan ekonomi.
Selain itu, disparitas yang tinggi juga terjadi antardaerah. Misalnya, hingga saat ini pembangunan masih terkonsentrasi di Jawa. Hal ini terlihat dari sebaran daerah tertinggal. Ia menyebutkan sejumlah daerah tertinggal yang kurang mendapatkan sentuhan pembangunan.
Menurut Zuhro, daerah tertinggal terbanyak saat ini berada di Provinsi Papua sebanyak 25 Kabupaten, disusul Nusa Tenggara Timur (17 Kabupaten), Papua Barat (7 kabupaten), Sulawesi Tengah (9 Kabupaten), dan Kalimantan Barat dan NTB (8 Kabupaten). Ia yakin ketimpangan antardaerah ini akan mengganggu stabilitas politik dan keamanan.
Selain itu, tantangan lain yang dihadapi santri adalah kenyataan social political certainty atau adanya kepastian politik terasa semakin jauh. Kondisi ini terjadi seiring dengan hadirnya keriuhan, kegaduhan, penistaan agama, isu intoleransi, masalah kebhinekaan yang menimbulkan konflik/sengketa, silang pendapat yang nyaris tanpa henti. Bahkan Pancasila pun dipertentangkan dan dipertanyakan.
Di sisi lain kesenjangan sosial dan ketidakmakmuran masyarakat sehingga mudah menyulut keresahan sosial (social unrest) dan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja menjadi tantangan nyata bagi santri. Apalagi saat ini ancaman terhadap kohesivitas sosial semakin meningkat, terutama terkait akan digelarnya Pemilu serentak 2024.
BACA JUGA: Rasisme Meruntuhkan Keberagaman dan Pluralisme, Humanisme Perkuat Keadilan Sosial
Tetapi Zuhro yakin santri dapat melakukan sesuatu dalam menghadapi tantangan tersebut, terutama karena santri memiliki posisi strategis di dalam NKRI. Saat ini secara politik posisi santri kuat karena berada di semua lini kehidupan bangsa. Oleh karen itu, mereka harus mengisi poisisi strategis di semua sektor kehidupan.
“Politik santri adalah politik yang berpihak kepada kepentingan kaum lemah (mustad,afin), termasuk dalam ekonomi, sosial, budaya dan politik. Sehingga dikotomi antara politik gincu dan garam tidak relavan lagi. Pendidikan karakter yang paripurna di pesantren membuat para santri harus menjadi garda terdepan dalam membangun revolusi mental. Sehinga nasib NKRI berada di tangan santri, baik yang bersarung maupun yang berdasi,” pungkas peneliti senior LIPI tersebut.
TAG#NU, #ISNU, #Santri, #Pesantren, #Politik, #Toleransi, #Hari Santri, #Kemajemukan, #NKRI, #Bhineka, #Wawan Hari Purwanto, #Siti Zuhro, #Muhammad Johansyah, #Tjoki Aprianda Siregar
188650160
KOMENTAR