Tokoh Katolik Hadiri Wisuda Santri di Cisoka Banten

Inakoran

Wednesday, 09-05-2018 | 09:53 am

MDN
Romo Felix Supranto (kedua dari kanan) bersama dengan tokoh muslim menghadiri wisuda santri angkatan ke-17 di Pesantren Daarul Fallahiyah Assalafiyah Cisoka, Kabupaten Tangerang, Banten, Minggu (6/5/2018) [dok: pribadi]

Tangerang, Inako

Toleransi antar-umat beragama di Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, dapat menjadi contoh toleransi di tempat lain di Indonesia saat ini. Setidaknya tergambar dari  beberapa kegiatan yang saling mengunjungi seperti yang dillakukan oleh sejumlah tokoh Katolik dan Muslim di Tangerang.

Minggu, 06 Mei 2018, Partor Paroki Gereja Santa Odilia, Citra Raya Tangerang, Romo Felix Supranto, SS.CC, Ratno Wahyudi (Wakil Ketua Dewan Paroki St. Odilia Citra Raya), Vincent dan Sigit (Seksi Hubungan Antar-Agama dan Keyakinan/HAAK) menghadiri wisuda santri (setara lulus SLTA) ke-17 di Pesantren Daarul Fallahiyah Assalafiyah Cisoka, Kabupaten Tangerang, Banten. Mereka hadir atas undangan Kyai Haji Ardani, Kyai Haji Ues, dan Kyai Haji Imron.

Romo Felix (ke-3 kiri), Ratno Wahyudi (ke-4) berada di tengah tokoh muslim saat menghadiri wisuda santri di Cisoka, Minggu (6/5/2018) [dok:pribadi]


Romo Felix mengakui terharu saat melihat para santri dipanggil satu-per satu untuk menerima tanda kelulusan. Keharuan itu terutama karena para santri rela menjalani masa remajanya di pondok pesantren tersebut, dan harus tinggal jauh dari orangtua selama tiga hingga enam tahun demi menuntut ilmu.

“Menurut refleksi saya, ilmu yang didalami para santri ini bukan sekedar ilmu dunia, tetapi terutama ilmu akhirat, ilmu menuju kehidupan yang sesungguhnya,” ujar Pastor Paroki St Odilia ini.

Dalam berbagi pengalaman dengan para santri, Romo Felix menegaskan bahwa para santri tidak boleh berhenti menuntut ilmu. Sebaliknya ilmu-ilmu itu harus terus menerus didalami dan dihayati dengan berbagai cara.

Pertama, ilmu itu harus terus diperbaharui mengingat tantangan dalam mengarungi kehidupan itu senantiasa berubah dan berkembang. “Lautan melambangkan dunia yang penuh tantangan, sedangkan perahu melambangkan ilmu. Untuk melintasi lautan, kita perlu perahu, yaitu ilmu,” tegasnya.

Kedua, menyiapkan bekal yang banyak karena jauhnya jarak perjalanan. ”Bekal dalam perjalanan itu adalah ilmu. Ilmu itu tidak memberatkan, tetapi meringankan dan menyelamatkan,” tambahnya.

Ketiga, berusaha untuk meringankan beban dalam perjalanan. Pasalnya, orang berilmu tidak mau dibebani dengan apa yang diperolehnya. Itu berarti bahwa apa yang didapatkan oleh seseorang di dunia bukan untuk ditumpuk, melainkan disedekahkan bagi yang membutuhkan.

Keempat, terus berusaha untuk ikhlas dalam beramal. Hal ini didasarkan pada sebuah keyakinan bahwa orang yang berilmu sesungguhnya adalah orang yang beramal dengan ikhlas. Ia tidak pernah menuntut balasan dari sesama manusia, sebaliknya ia membiarkan Allah untuk membalasnya.

Menurut Romo Felix, apabila para lulusan pesantren mempraktekkan keempat cara tersebut, maka mereka mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di surga. Namun Romo Felix yakin bahwa peran para kyai dan guru lewat ajaran dan keteladan hidupnya sangat besar untuk mendapatkan ilmu tersebut.

“Karena itu, ada istilah yang indah untuk mengungkapkan peranan para kyai dan guru bagi para santri ini : Andaikan tidak ada guru yang mendidikku, maka aku tidak akan mengenal Tuhanku,” tuturnya.

Baca juga:



GP Ansor Banten Kunjungi Gereja Katolik Santa Odilia Tangerang

Khoirun Huda: “Silaturahmi Kebangsaan Lewat Ngopi Bareng”

GP Ansor Kaltim Sumpah Setia Kepada NKRI

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KOMENTAR