Sepanjang Adzan Akan Berkumandang

Binsar

Friday, 06-09-2019 | 21:09 pm

MDN
Ilustrasi [ist]

Cerpen Tommy Duang, Mahasiswa STF Ledalero, Maumere Flores
 

Inakoran.com

Aysha, jangan pernah melupakan senja ini. Mungkin azan yang tengah berkumandang menjadi awal dari selamanya tentang kita. Kita yang menentang semua yang ada, demi satu ruang di keabadian

Aysha, semerdu apakah Azan Magrib yang kau impikan berpadu dengan Kidung Pujian Maria sehingga keduanya bagaikan asap dupa membubung melampaui awan gemawan untuk menggoda Tuhanku yang agung dan Allahmu yang akbar itu, untuk tersenyum sambil menyeruput regukan terakhir kopi sore-Nya?

Oh, Aysha, seharu apakah hati seorang Muslimah yang menikmati perpaduan itu dari Gua Maria Golo Lantar sambil memandang Masjid di sudut barat lapangan bola, sementara kekasihnya bergulat dengan biji-biji rosario berwarna biru?

Sepanjang azan akan berkumandang, selalu ada kisah tentang wanita berkerudung dan pemuda berrosario biru, Gua Maria yang selalu menemani mereka hingga senja pergi, menyusul keheningan mulia sesaat setelah kumandang azan magrib usai.

 

Tommy Duang, Mahasiswa STF Ledalero, Maumere - Flores

 



“Aku melihat warna biru, lalu memikirkanmu.” Kata Aysha manja ketika mereka duduk menjuntai kaki di pendopo timur gua.

Kekasihnya diam saja.

“Kamu tahu kenapa?” Tanya Aysha lagi.

Pria itu menggelengkan kepala.

“Kamu itu seperti warna biru. Selalu teduh.”

Senja itu indah. Di timur, pelangi melengkung sempurna. Di barat, senja menguning di kaki langit menyisakan bias keperakan yang menegaskan betapa hebatnya Arsitek Agung yang merancang alam semesta ini.

Aysha, sebening apakah kenangan dalam bingkai cakrawala yang menguning di kaki langit? Atau seteduh apakah laut di utara yang membening di bola mata pria di sisimu itu?

“Kamu pria terhebat yang pernah menyelinap masuk dalam relung hatiku.”

Benarkah? Aku tak menyadari itu.

“Kamu mencuri hatiku tanpa kusadari.”

Aku tidak pernah mencuri, Aysha.

“Saat aku terjaga dari mimpi-mimpi masa laluku, tak lagi kutemukan kebahagiaan dalam kesendirianku.”

Jangan bilang aku yang mencurinya.

“Lalu kamu menyembunyikannya dalam ramuan memabukkan Azan-Ave Maria.” Aysha semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh lelaki itu.

Azan lagi. Ada apa dengan Azan Magrib yang kau nikmati dari Gua Maria Golo Lantar sambil menunggu aku selesai bergulat dengan biji-biji rosario biru?

Aysha tersenyum. Manis. Bibirnya yang mungil memancarkan senyuman teduh dari kecemerlangan inner beauty yang membuncah.

“Jika kamu belum memahami,” kata Aysha, “Biar kujelaskan. Gua Maria di puncak gunung yang tingginya lima meter di atas kaki awan. Azan Magrib yang berkumandang melesat menuju surga di atas langit ke tujuh. Dua anak Adam, pria berosario dan Muslimah berhijab biru dengan senyuman hati yang menawan. Dan tentu saja dengan sepotong senja yang menguning di kaki langit. Kini, katakan padaku, adakah potongan senja yang lebih sempurna daripada senja di puncak Golo Lantar?”

“Masih ada satu yang kurang.” Kata pria itu di luar dugaan Aysha.

“Apa itu?” Pipi Aysha memerah. Hatinya getir.

“Segelas kopi hangat untuk berdua.”

“Ah, jangan terlalu manja, sayang.”

“Aku ingin melihat kereta.”

“Kamu ada-ada saja. Tidak ada kereta di Flores.” Kata Aysha sambil menertawai kekonyolan kekasihnya ini.

“Tapi aku ingin sekali melihat kereta yang melintas di bawah sana, menjelang malam.”

“Kita bayangkan saja. Kereta panjang melintas menuju perkampungan di selatan. Kereta itu melintas sesaat setelah senja pergi.”

“Aku ingin kereta berwarna biru.”

“Kereta biru senja.” Bisik Aysha manja.

“Aku ingin menamainya kereta biru malam.” Kata pria itu.

“Ah, kamu tergila-gila dengan Ebiet G. Ade. Mengapa bukan cinta di kereta biru malam saja?”

“Tidak ada kisah cinta dalam kereta biru malam imajinatifku.”

“Masukkan saja kisah cintanya.” Kata Aysha setengah merayu.

“Kisah seperti apa?”

“Misalnya kisah anak muda yang jatuh cinta pada putri seorang saudagar minyak yang jarang pulang. Kedua anak muda itu berkenalan di stasiun kereta karena sama-sama terjebak hujan di Desember yang resah, lalu kemudian menumpang kereta biru malam yang meluncur malas ke arah timur.”

“Terima kasih.” Kata pria itu sambil tersenyum. “Dan ibu anak muda itu adalah seorang wanita karier yang ketika masih muda menjadi penjual gorengan di emperan tokoh. Suatu hari perempuan penjual gorengan itu pulang malam dan menumpang sebuah kereta malam berwarna biru. Di kereta itulah ia bertemu dengan cinta pertamanya yang kemudian menjadi ayah anak muda itu. ”

“Hahaha... Bisa juga.”

“Ah, bagaimana kalau kisah cinta seorang pria berrosario biru dan seorang Muslimah dengan inner beauty yang jelita?”

“Aku tidak setuju.” Protes Aysha. Pipinya bersemu merah. Dia mencubit lengan kekasihnya itu, sementara pria itu, dalam hatinya diam-diam merindukan cubitan menggemaskan itu.

 “Mengapa?”

“Aku hanya ingin kenangan kita terpahat di sini, bersama azan dan senja.”

“Bisa saja terpahat di dinding-dinding kereta biru malam bersama malam dan rinai gerimis yang mengabadikan kisah si pemuda dan putri saudagar minyak.”

“Tapi aku akan kesulitan mengenang kisah kita tanpa azan, gua Maria dan sepotong senja di kaki langit.”

                                 ***
Gua Maria Golo Lantar, bukit batu yang menjulang sampai ke angkasa khayalan, ke langit kenangan, ke cakrawala impian. Sesungguhnya ada banyak kisah tentang senja di puncak Golo Lantar.

Bukan hanya kisah cinta pria berrosario biru dan kekasihnya, tetapi juga kisah-kisah lain, misalnya tentang sekawanan merpati di atap pendopo timur gua, tentang seorang pria sahaja yang memetik daun tembakau di lereng bukit setiap jam lima sore, tentang lonceng Gereja yang selalu berdentang nyaring sesaat sebelum matahari terbit dan tentang anak-anak desa yang sedang bermain bola di lapangan di bawah sana.

Akan tetapi, dari semua kisah itu, kisah yang paling dramatis adalah kisah tentang sang muslimah dan kekasihnya, Gua Maria, Azan dan sepotong senja di kaki langit.

Mungkin suatu hari nanti mereka akan berpisah, tetapi kenangan mereka sudah terpahat di dinding-dinding gua, diabadikan dalam dekapan sayap-sayap merpati, dikisahkan oleh pria pemetik daun tembakau kepada anak cucunya, digemakan oleh dentangan lonceng Gereja dan  diimpikan oleh anak-anak desa yang sedang bermain bola.

Sekejam apapun waktu yang memisahkan mereka, mereka tidak mungkin melupakan kenangan ketika mereka duduk menjuntai kaki di pendopo timur gua sambil menikmati azan dan senja di kaki langit, kemudian membayangkan kereta biru malam yang melintas sesaat setelah senja pergi.

Lalu pada suatu senja di musim dingin, lelaki itu kembali ke Gua Maria itu, duduk di sana dan menyusun kembali serpihan kenangan mereka yang sempat terhapus oleh kejamnya waktu.

Walaupun mungkin, mantan kekasihnya, Muslimah berhijab biru itu, takkan pernah kembali ke sana, sebab ia takut ditikam kenangan tentang azan dan senja di puncak bukit itu.

Akan tetapi, Gua Maria itu tetap berdiri di sana dan setiap hari selalu dikunjungi oleh para peziarah yang mencari kedamaian batin.

Sungguh indah, berziarah ke Gua Maria di puncak bukit sambil memandang senja di kaki langit dan dari bawah sana azan magrib berkumandang lantang membelah angkasa.

Seperti senja ini, sekelompok imam baru datang berziarah ke Gua Maria di puncak bukit itu. Salah seorang di antara mereka menggenggam rosario biru, berlutut di hadapan arca Sang Bunda, kemudian memandang senja di kaki langit, hingga ia pun teringat akan kekasihnya di masa lampau: Seorang Muslimah berhijab biru, yang suka mendengarkan paduan Azan-Kidung Pujian Maria di sore yang menguning, sambil berimajinasi tentang kereta biru yang melintas sesaat setelah senja pergi.

“Aku ingin kau menjadi seorang Pastor yang selalu memegang rosario biru.”

“Kau ingin aku menjadi seorang Pastor?”

“Ya.”

“Itu artinya hatiku kuabdikan pada cinta untuk semua orang.”

“Dan satu di antara semua orang itu adalah aku.”

“Jadi, cinta sudah cukup sempurna jika hati ikhlas melepaskan seorang demi semua?”

Sepanjang azan akan berkumandang, akan selalu ada ruang tak bernama di tempat terjauh di hati Muslimah itu.

Pria itu, yang kini berusia tiga puluh tahun, menggenggam erat rosario birunya sambil berlutut menghaturkan doa kepada Sang Ibu Agung, menyebut satu nama dalam doa, memohonkan kebahagiaan bagi pemilik nama itu.

Aysha.

Sementara itu, rekan-rekannya yang lain, sesama imam baru, menyanyikan Kidung Pujian Maria, berhubung hari telah senja. Dari arah masjid di sebelah barat lapangan bola, berkumandanglah azan magrib yang syadu.

Sementara itu, di kaki langit, senja mulai menguning, membiaskan cahaya keperakan dan semakin disempurnakan oleh perpaduan tujuh warna pelangi yang melengkung sempurna di timur.

“Aysha, sepanjang azan akan berkumandang, akankah kau mengenang senja di Puncak Golo Lantar?”

Pria itu tertegun.

Sedamai inikah azan yang dahulu dirindukan kekasihnya dari Gua Maria Golo Lantar?

Sejenak ia memungut serpihan kenangan yang masih menempel di dinding-dinding gua. Dia menyadari bahwa tidak semua kenangan dibawa pergi dan juga tidak semua kenangan ditinggalkan bersama sepih.

Dia memilih untuk hanya mengabadikan kata-kata perpisahannya dengan sang kekasih:

“Aysha, jangan pernah melupakan senja ini. Mungkin azan yang tengah berkumandang menjadi awal dari selamanya tentang kita. Kita yang menentang semua yang ada, demi satu ruang di keabadian.”

 

 

 

 

KOMENTAR