Subsidi Energi Tak Tepat Sasaran, Bukan Alasan Tepat Naikkan Harga BBM

Hila Bame

Saturday, 27-08-2022 | 12:29 pm

MDN

 

JAKARTA, INAKORAN

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan subsidi energi tahun 2022 yang senilai Rp502 triliun mayoritas dinikmati oleh orang kaya ketimbang kelompok miskin, sehingga jika subsidi ditambah lagi sama artinya dengan mensubsidi orang kaya.

 

"Jadi memang kalau subsidi diberikan melalui barang dan barangnya dikonsumsi orang mampu ya kita mensubsidi orang mampu, meski memang ada juga orang tidak mampu yang merasakan tetapi porsinya kecil. Ini yang perlu dipikirkan," tutur Menkeu Sri.

 

Menurutnya, subsidi solar senilai Rp143 triliun, sebanyak 89 persen atau Rp127 triliun dinikmati oleh dunia usaha dan 40 persen orang terkaya di Indonesia. Dari total volume subsidi solar sebesar 15,1 juta kiloliter, kelompok miskin hanya menikmati kurang dari 1 juta kiloliter.

 

Dari subsidi Pertalite senilai Rp93 triliun, sebanyak 86 persen atau Rp80 triliun dinikmati 30 persen rumah tangga terkaya.

 

Dari volume subsidi Pertalite sebesar 23 juta kiloliter, sebanyak 15,8 juta kiloliter subsidi Pertalite dinikmati orang kaya, hanya 3,9 juta kiloliter subsidi Pertalite yang dinikmati golongan 40 persen masyarakat terbawah.

 

Menanggapi hal itu, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengungkapkan data tersebut bukanlah alasan tepat untuk menaikkan harga Pertalite.
"Jika pun apa yang disampaikan oleh Bu Menteri Keuangan itu benar, maka pertanyaannya apakah solusinya harga Pertalite harus dinaikkan dengan memangkas subsidi dan kompensasi?" ujar Nailul.

 

Nailul berpandangan jika Pertalite jadi naik, masyarakat kelas menengah ke bawah akan menjadi pihak yang paling terdampak. Menurutnya, saat ini tingkat inflasi sedang tinggi, dan akan semakin tinggi jika ada kenaikan harga Pertalite dan Solar.


"Masyarakat yang kaya tidak masalah inflasi mau naik sampai 7-8.5 persen. Masih ada pendapatan untuk bisa membeli barang dengan harga yang jauh lebih mahal dibandingkan harga sekarang. Tapi masyarakat miskin tidak mampu untuk membeli barang dengan harga yang lebih tinggi, ditambah kenaikan pendapatan juga tidak ada," tegasnya.

 

Menurutnya, pemerintah juga mesti mempertimbangkan banyak hal jika memang ingin menaikkan BBM bersubsidi seperti mekanisme, besaran, jangka waktu penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) ataupun bantuan sosial (bansos).


"Walaupun ada BLT, berapa yang harus diberikan per kepala? Sampai kapan akan tetap diberikan? Kemudian bagaimana nasib untuk masyarakat rentan miskin yang sebelumnya tidak ada di daftar penerima bantuan? Itu kan semua harus dipertimbangkan," tegasnya.

 

Nailul berpendapat pemerintah bisa melakukan banyak hal ketimbang menaikkan BBM bersubsidi, seperti realokasi anggaran, menerapkan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi.
"Malah saya rasa pemerintah ini masih ada surplus Rp100 triliun, menurut Bu Menkeu.

 

Jadi itu bisa untuk menambah anggaran subsidi BBM. Ada juga kebijakan realokasi anggaran yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Dan juga pembatasan distribusi BBM seperti pengaturan siapa yang berhak beli, mana yang enggak. Bisa menggunakan skema pembatasan cc, dan lain sebagainya," pungkasnya.

 

 

KOMENTAR