Yuniyanti Chuzaifah: Tugas Komnas Perempuan Mengenali dan Mendengar Suara Korban
Jakarta, Inako
Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mempunyai peran dalam menangani masalah perdagangan manusia (human/woman trafficking). Peran yang diembani selama ini adalah memantau, mengenali, mendengar suara korban, dan kemudian melakukan analisis. Data-data itu kemudian diberikan kepada lambaga negara sebagai bahan masukan.
Demikian diungkapkan oleh Yuniyanti Chuzaifah, Komisioner Komnas Perempuan, dalam Diskusi Kamisan dengan tema: “Woman Trafficking : Pencegahan dan Solusi,” di Kantor DPP Taruna Merah Putih, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (22/3/2018). Diskusi ini juga menghadirkan dua pembicara lain, yaitu Wahyu Susilo (Direktur Eksekutif Migrant Care) dan Suster Agatha Priuntari RGS (Pendamping Korban Woman Trafficking).
Menurut Yuniyanti, selama ini pihaknya memberikan masukan terhadap sejumlah kebijakan. Salah satunya ialah mendorong adanya kebijakan lokal dalam rangka pencegahan tracffiking dan migrasi yang lebih memberikan perlindungan terhadap perempuan. Pasalnya, migrasi yang aman tidak cukup hanya memiliki dokumen saja. Dalam prakteknya mereka yang memiliki dokumen tetap dijatuhi hukuman mati.
“Kita ingin bahwa migrasi aman itu tidak cukup hanya dengan dokumen saja. Sebab prakteknya, mereka-mereka yang dijatuhi hukuman mati, adalah orang-orang yang dulunya memang membawa dokumen. Bahwa dokumen itu penting, tapi jangan mensimplikasi persoalan. Karena itu, kita mendorong lembaga-lembaga negara untuk serius mengawal pencegahan, perlindungan, penindakan, bahkan pemulihan,” ujar Yuniyanti dalam wawacanca dengan inakoran.com.
Menurut Yuniyanti, ada tiga gejala trafficking, pemindahan merekrut, membawa, memindahkan orang. Tujuannya adalah untuk eksploitasi seksual, penjualan organ tubuh. Ada banyak modus dalam perekrutan, misalnya dengan cara pemaksaan, menipu, dan menyogok pihak yang berkuasa untuk mendapatkan persetujuan.
Dalam kesempatan ini Yuni juga mengisahkan tentang pedihnya nasib para korban yang dijatuhi hukuman mati karena terlibat dalam kasus narkoba (drug trafficking). Menurut Yuni, mereka sesungguhnya bukan pelaku yang secara langsung ikut menyebarkan narkoba, tetapi hanya korban. Namun mereka sulit untuk membuktikan di pengadilan bahwa mereka sungguh-sungguh dibohongi atau korban tracfficking.
Yuni memberikan contoh kasus Mary Jane yang dijatuhi hukuman mati karena terlibat dalam perdagangan narkoba. Ia mengatakan Mary Jane sesungguhnya adalah korban tracfficking, namun ia tidak bisa membela diri di pengadilan bahwa dirinya adalah korban tracfficking, karena sulit untuk dibuktikan.
“Ada banyak perempuan yang mengalami korban seperti Mary Jane. Mereka dijatuhi hukuman mati karena narkoba, padahal mereka adalah korban tracfficking. Soal ini sangat rumit. Korban biasanya tidak mau rumit dengan soal pembuktian. Apa dia bisa buktikan bahwa dia memang adalah korban dan merasa dibohongin. Kan sulit untuk membuktikan bahwa memang dirinya dibohongi,” tambah Yuni.
Ia menambahkan proses hukum yang terjadi selama ini dalam masalah tracfficking, pertama, kecenderungan untuk membebankan pembuktian kepada korban. Kedua, di pengadilan isu narkoba dan tracfficking merupakan dua hal yang berbeda.
“Dalam proses pengadilan kami lihat ada kecenderungan bahwa masalah narkoba, ya narkoba saja. Begitu juga dengan tracfficking, hanya tracfficking saja. Jadi tidak melihat bahwa orang yang terlibat dalam narkoba adalah korban tracfficking juga. Hal inilah yang membuat kami terdorong untuk melakukan analisis yang lebih komprehensif dengan menimbang kekerasan terhadap perempuan,” tegasnya.
TAG#Diskusi Kamisan, #Taruna Merah Putih
182259165
KOMENTAR