Harga Minyak Anjlok 3,67% Usai OPEC+ Naikkan Produksi

Jakarta, Inakoran
Harga minyak mentah dunia jatuh tajam setelah OPEC+ secara mengejutkan sepakat untuk meningkatkan produksi secara signifikan. Keputusan ini meningkatkan kekhawatiran pasar akan potensi kelebihan pasokan global di tengah lemahnya permintaan akibat tekanan perang dagang yang berkepanjangan.
Menurut data Bloomberg pada pukul 07.15 WIB, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) kontrak Juni 2025 turun 3,67% ke level US$56,16 per barel. Sementara itu, harga minyak Brent yang menjadi acuan global merosot 3,41% ke posisi US$59,20 per barel.
Keputusan OPEC+ untuk menaikkan produksi lebih dari 400.000 barel per hari mulai Juni mendatang diumumkan pada Sabtu pekan lalu. Langkah ini menyusul peningkatan pasokan sebelumnya yang juga melampaui ekspektasi pasar. Kelompok produsen yang dipimpin oleh Arab Saudi dan Rusia tersebut tampak mempercepat pembalikan kebijakan pemangkasan produksi yang selama ini diterapkan guna menopang harga, namun berdampak pada menurunnya pangsa pasar mereka.
BACA JUGA:
Harga Emas Antam Naik Rp 3.000 per Gram: Senin (5/5/2025)
IHSG Dibuka Menguat ke Level 6.844,37 di Awal Pekan
Harga Minyak Dunia Terkoreksi 0,37%: Jumat (2/5/2025)
Sejumlah delegasi menyebut Arab Saudi telah memberi sinyal bahwa kebijakan peningkatan produksi serupa bisa kembali dilakukan dalam waktu dekat. OPEC+ juga memberlakukan sanksi terhadap anggota yang melebihi batas produksi, termasuk Kazakhstan.
Kabar tersebut memicu lonjakan aktivitas perdagangan minyak, dengan lebih dari 182.000 kontrak Brent berpindah tangan hanya dalam 30 menit pertama sesi Asia. Sepanjang tahun ini, harga minyak telah berada di bawah tekanan, bahkan mendekati titik terendah dalam empat tahun terakhir yang tercatat pada April lalu.
Situasi ini diperparah oleh ketegangan dagang yang terus berlanjut. Kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi global, merusak sentimen investor, dan melemahkan permintaan energi.
Direktur Analisis Minyak ICIS, Ajay Parmar, menilai bahwa peningkatan produksi OPEC+ tidak akan mampu diserap oleh pasar dalam kondisi permintaan yang rapuh. “Pertumbuhan permintaan sangat lemah, terutama setelah pemberlakuan tarif baru-baru ini,” ujarnya kepada Bloomberg.
Sebagai respons terhadap perkembangan ini, Morgan Stanley menurunkan proyeksi harga Brent untuk kuartal III dan IV 2025 menjadi US$62,50 per barel, atau turun US$5 dari perkiraan sebelumnya. Analis Morgan Stanley, Martjin Rats, menegaskan bahwa tambahan pasokan justru memperburuk surplus yang telah ada di pasar minyak.
Namun, penurunan harga energi ini bisa menjadi faktor positif bagi bank sentral seperti Federal Reserve, yang dijadwalkan menggelar pertemuan pekan ini. Harga minyak dan bahan bakar yang lebih rendah berpotensi membantu meredam tekanan inflasi yang dipicu oleh kebijakan tarif.
Sementara itu, Presiden Trump – yang dijadwalkan mengunjungi Timur Tengah akhir bulan ini – terus mendorong OPEC+ agar meningkatkan produksi demi menurunkan harga energi. Di sisi lain, Arab Saudi tengah memperkuat hubungan diplomatik dengan Washington, di tengah pembicaraan sensitif antara AS dan Iran terkait kesepakatan nuklir.
Dalam wawancara dengan NBC, Trump juga menyatakan keterbukaannya untuk menurunkan tarif terhadap China, menyusul dampak negatif dari perang dagang yang nyaris melumpuhkan arus perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia itu.
KOMENTAR