Jadwal Sidang MK dan Proyeksi Putusan Sistem Proporsional Terbuka

Timoteus Duang

Tuesday, 13-06-2023 | 09:36 am

MDN
Jadwal Pengucapan Putusan MK mengenai perkara Sistem Pemilu

 

JAKARTA, INAKORAN.COM 

Oleh : H. Adlan Daie [Pemerhati politik dan sosial keagamaan]

 

Jadwal sidang Mahkamah Konstitusi (MK) no perkara 114/PUU-XX/2022 tentang pokok perkara "konstitusionalitas konsekuensi pergeseran sistem proporsional tertutup terbuka" dengan agenda sidang "pengucapan putusan" akan dibacakan Kamis (15 Juni 2023).

Ini momentum yang ditunggu-tunggu dengan "dag dig dug" dan "harap harap cemas" oleh para pimpinan parpol dan para bacaleg yang telah didaftarkan ke KPU RI/KPUD—cukup lama menindih psikologi politik mereka.

Dalam analisis penulis, MK kemungkinan besar akan memutus tetap "proporsional terbuka" minimal karena dua hal:

Pertama, sikap penolakan keras 8 fraksi DPR RI atas sistem proporsional "tertutup"—berbanding  satu fraksi yang setuju, yakni PDIP—jelas memaksakan pilihan sistem "tertutup" tidak legitimated secara politik dan potensial "chaotic", yakni menimbulkan situasi  "kacau" dengan segala efect sosial politik turunannya.

Baca juga: Megawati, Konstitusi dan Pilpres 2024

Dalam konteks ini sungguh sangat "ngawur", bahkan berbahaya pernyataan Dr. Karjono, Wakil Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam konferensi pers resmi BPIP bahwa "negara tidak akan bubar apakah pemilu 2024 menggunakan sistem terbuka atau tertutup, sama baiknya." (Republika, 31/5/2023).

Di sini persoalannya bukan soal negara "bubar atau tidak bubar" melainkan bagaimana produk hukum diletakkan dalam prinsip-prinsip bernegara yang aman, stabil, dinamis, dan tidak "chaos".

Pertimbangan inilah yang abai dibaca oleh Dr. Karjono di atas seolah-olah negara berdiri di "ruang hampa" secara politik.

Dalam "ushul fiqih", sebuah methodologi "istimbath" atau penetapan produks hukum (Islam)  dikenal prinsip "dar ul mafasid muqaddam 'ala jalbil masholih", yakni prinsip hukum dirancang untuk mencegah "kekacauan" lebih didahulukan dibanding kemungkinan "maslahat" yang hendak diperlolehnya. Perspektif ini relevan dalam sistem politik demokrasi.

Baca juga: Problem APBD, Wacana Hak Angket DPRD dan Implikasi Politiknya

Kedua, sisi pertimbangan politis di atas adalah legal konstitusional. Artinya pilihan sistem pemilu "terbuka" bersifat "open legal policy", yakni "kewenangan" yang telah disepakati bersama DPR RI dan Presiden dan dituangkan dalam produk Undang-Undang No. 7 tahun 2017.

Karena itu kedudukan hukum sistem pemilu proporsional "terbuka"  sah dan konstitusional.

MK tidak memiliki mandat konstitusional untuk menggesernya menjadi "tertutup". Artinya "uji materi" sistem pemilu tersebut harus ditolak MK.

Tidak ada satu pun mandat konstitusional bagi MK sebagaimana diatur dalam pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen 2002 untuk memutuskan "norma" hukum baru terhadap produks hukum bersifat "open legal policy" yang merupakan kewenangan DPR RI bersama Presiden.

Baca juga: Erick Thohir Dan Posisi PBNU Dalam PILPRES 2024

Dalam perspektif timbangan prinsip-prinsip hukum dan politis di atas itulah dalam kerangka konstitusi penulis meyakini bahwa MK akan memutuskan "sistem terbuka".

Di luar perspektif di atas sungguh penulis tak terjangkau lagi bagaimana "political movement" atau gerakan politik 8 fraksi DPR RI jika putusan MK kelak tidak sejalan dengan sikap politik mereka.

Merekalah pihak paling terdampak "kerugian" dalam mendesain ulang rute pemenangan pemilu 2024.

Putusan "sistem tertutup" hanya akan membenarkan pernyataan Prof. Deni Indrayana yang menghebohkan publik bahwa dugaan "kongkalikong" para hakim MK benar adanya. Semoga tidak.

Wallahu a'lam bish shawab.

 

KOMENTAR