Masyarakat Khawatir Akan Lahir Penegak Moral di Indonesia

JAKARTA, INAKORAN
Pada pasal 284 ayat (2) KUHP, mengatakan bahwa proses penuntutan atau pelaporan tindak pidana (overspel) hanya dapat dilakukan atas pengaduan suami atau istri.
Alasannya karena tindak pidana tersebut masuk ranah Delik Aduan Absolut.
Artinya tidak ada tuntutan, apa bila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan.
Laporan pidana tidak dapat diproses lebih lanjut oleh kepolisian, jika yang melaporkan bukan pasangan resmi pihak yang dirugikan.
Masyarakat Indonesia menggigil dengan disahkannya RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) oleh DPR RI pada (6/12/2022).
Pasal yang membuat horor warga adalah pasal Zina (dua manusia berlainan jenis lakukan hubungan seks) tanpa ikatan perkawinan sesuai agama yang ada di Indonesia.
Selain Kepastian Hukum, tujuan utama undang-undang dibuat adalah Azas Keadilan dan Azas Kemanfaatan.
Jika ada sepasang manusia, pria dan wanita tanpa surat nikah lakukan hubungan seks di sebuah hotel apakah kegiatan tersebut bisa dipidana? Pro kontra terkait pasal zina tidak hanya menimbulkan tanya di masyarakat, lebih dari itu.
Pasal zina akan mengundang "Penegak Moral Partikelir" guna memeras, melecehkan, martabat manusia.
Publik berharap pemerintah tidak main-main dengan RKUHP yang baru disahkan itu. Sosialisasi perlu dilakukan secara matang dan berulang-ulang sehingga undang -undang tersebut tidak menimbulkan multitafsir dan membelenggu kebebasan sipil warga negara.
baca:
Pasal Zina mengancam Pariwisata?
Sebelumnya, pada hari Selasa (17/9/2019), Majelis Ormas Islam (MOI) menggelar konferensi pers di Jakarta terkait RKHUP.
MOI menuntut DPR agar segala perbuatan yang mereka anggap perzinaan dan cabul di antara manusia yang berlawanan jenis maupun yang sesama jenis tetaplah tindakan pidana meskipun tidak dilakukan tidak di depan umum atau ruang tertutup, tidak dilakukan secara paksa, tidak dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dan meski korban melakukannya dengan sukarela.
"Perbuatan perzinaan dan perbuatan cabul yang diketahui masyarakat, dapat dilaporkan oleh masyarakat dan atau ketua RT/RW," kata Wakil Ketua Presidium MOI, Nazar Haris (17/9/2019), merespon delik aduan dalam pasal 419 yang hanya boleh dilakukan jika tak ada keberatan dari orang tua, anak, atau pasangan dari pihak yang diadukan.
Pegiat hukum dari ELSAM bersama rekan-rekannya dari Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Revisi KUHP. Koalisi ini menilai RUU KUHP berpotensi membelenggu kebebasan sipil.
Menanggapi seruan MOI tersebut, ELSAM mengatakan pasal perzinaan dan kohabitasi dalam RKUHP memang rentan memunculkan 'penegak moral' baru, tak hanya terbatas pada Kepala Desa, seperti mandat pasal.
Aksi MOI itu dan konteks meningkatnya gerakan Islam, sebut ELSAM, bisa membuat dua pasal tadi memperbesar peluang perpecahan serta konflik horizontal di tengah masyarakat.
"Melihat riset Puskapa di tahun 2017 bahwa lebih dari 50 persen pasangan yang menikah di Indonesia tidak memiliki bukti perkawinan, dan sebagian besar dari mereka hidup dalam kemiskinan, di daerah terpencil, mengalami disabilitas, atau pemeluk agama atau kepercayaan di luar enam agama yang diakui oleh Pemerintah," kemukanya.
Jika undang-undang ini tidak dilakukan dengan hati-hati maka Azas keadilan dan Azas Kemanfaatan RKUHP tersebut benar-benar menggelapkan kehidupan manusia Indonesia dan imbasnya akan mematikan dunia ekonomi dan sosial budaya di masa depan.
TAG#polisi moral, #RKUHP, #PASAL ZINA
198736531
KOMENTAR