Menyingkap Bahaya di Balik Rencana Mengizinkan Kampus Kelola Tambang

Jakarta, Inakoran
Rencana revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba) yang memberikan hak kepada perguruan tinggi untuk mengelola tambang menimbulkan gelombang protes dan kekhawatiran dari berbagai kalangan.
Kebijakan ini, yang muncul tanpa adanya masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025, dianggap dapat mengancam independensi institusi pendidikan dan merusak muruah pendidikan tinggi di Indonesia.
Dalam rapat yang digelar di Kompleks Parlemen Jakarta pada 20 Januari 2025, DPR mengusulkan agar perguruan tinggi ikut serta dalam pengelolaan tambang, sebuah langkah yang sebelumnya hanya diperuntukkan bagi perusahaan dan ormas keagamaan. Usulan ini menuai kritik, terutama dari Fraksi PDIP dan PKB, tetapi tetap disahkan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR setelah maraton rapat selama 12 jam.
Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian, mengekspresikan kekhawatirannya bahwa langkah ini akan mengganggu independensi perguruan tinggi.
“Kampus sebagai institusi independen untuk mencetak cendekia bangsa dan generasi unggul jangan sampai terkooptasi oleh kepentingan segelintir orang,” ungkapnya. Hal ini menunjukkan bahwa ada risiko besar bagi perguruan tinggi untuk terpengaruh oleh kepentingan bisnis yang dapat merusak tujuan pendidikan.
BACA JUGA:
Anggaran MBG Ditambah Rp100 Triliun, Sri Mulyani: Pelaku UMKM Bakal Untung
Strategi dan Prospek Saham Emiten Astra International di 2025
Harga Minyak Naik Tipis, Jelang Donald Trump Terapkan Tarif Impor
Harga Emas Antam Naik Rp 14.000: Jumat, 31 Januari 2025
Penolakan juga datang dari kalangan akademisi, seperti Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Wahid, yang menyatakan bahwa aktivitas pertambangan dapat mengabaikan temuan saintifik mengenai dampak buruk terhadap lingkungan dan manusia. Hal ini, menurutnya, dapat membuat kampus menjadi "antisains," di mana fokus pada penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan terganggu oleh kepentingan bisnis tambang.
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, membantah kekhawatiran ini dengan alasan bahwa pengelolaan tambang akan mendukung finansial perguruan tinggi.
Namun, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, Andry Satrio Nugroho, menilai bahwa pengelolaan tambang bukanlah bagian dari proses bisnis yang seharusnya dijalankan oleh perguruan tinggi. Menurutnya, tugas utama kampus adalah menciptakan inovasi melalui riset dan memastikan sektor pertambangan memiliki pasokan sumber daya manusia yang kompeten.
Andry juga mempertanyakan klaim DPR bahwa pengelolaan tambang dapat menekan biaya pendidikan. Ia mencontohkan negara-negara Eropa yang mampu menyelenggarakan pendidikan tinggi dengan biaya rendah atau bahkan gratis tanpa harus melibatkan kampus dalam bisnis tambang. Ini menegaskan bahwa ada masalah mendasar dalam pendekatan yang diambil oleh DPR.
Pengamat pendidikan, Darmaningtyas, menilai bahwa rencana ini adalah sesat pikir yang merusak muruah pendidikan tinggi. Ia khawatir bahwa pengajar akan lebih sibuk mengurus tambang daripada fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan. Darmaningtyas juga menyoroti dampak negatif terhadap kebebasan berpendapat di kampus, yang dapat mengarah pada self-censorship.
KOMENTAR