Sistem Moneter dan Ekonomi Islami Alternatif untuk Pemulihan Aktivitas Ekonomi Pasca Bencana Covid-19

Sifi Masdi

Sunday, 05-04-2020 | 22:58 pm

MDN
Pengamat masalah-masalah kebangsaan, Tjoki Aprianda Siregar [inakoran.com]


Jakarta, Inako

Banjir besar di tahun baru 2020 dan banjir pada   25 Februari 2020 di Jakarta, dan sekitarnya, disusul dengan merebaknya virus Corona (Covid-19), di tengah-tengah perlambatan ekonomi dunia sejak 3 tahun terakhir, tidak hanya memengaruhi perekonomian Indonesia, namun seakan menjadi “multiple disaster” (bencana ganda) bagi Indonesia.

Munclnya pandemi Covid-19 saat ini  telah melumpuhkan aktivitas sehari-hari masyarakat di seluruh tanah air, termasuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan pekerja di sektor informal seperti pedagang bakso, sate, nasi goreng keliling, dan pengemudi ojek online (ojol).

Imbas lain adalah menurunnya indeks harga saham gabungan (IHSG) hingga 21-24%, dengan level rata-rata turun sampai dengan 4,800-4900 poin dari biasanya 6,000 poin, dan “jatuh bebas”-nya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hingga menembus angka Rp16.000  per USD 1.00 dan juga terhadap mata uang asing lainnya.

BACA JUGA: Menyimak Dampak Virus Corona, Lockdown, Aksi Penimbunan Terhadap Ketahanan Nasional

Pengamat masalah-masalah kebangsaan, Tjoki Aprianda Siregar, yang dihubungi Inakoran, Minggu (5/4), menilai bahwa upaya intervensi Bank Indonesia (BI) untuk memperkuat nilai tukar rupiah dengan menjual sebagian cadangan dollar AS-nya dalam jumlah besar ratusan triliun rupiah tidak akan berpengaruh banyak apabila tidak diikuti dengan upaya pemerintah memulihkan kegiatan-kegiatan di sektor riil.

Menurut Tjoki, diperlukan keseimbangan antara sektor moneter dan sektor riil agar tercipta stabilitas ekonomi, yang pada gilirannya akan mendorong penguatan stabilitas politik.

Melemahnya sendi-sendi perekonomian, baik di sektor moneter maupun di sektor riil, berpengaruh pula pada sektor fiskal, dengan melemahnya kemampuan perusahaan-perusahaan manufaktur atau industri padat karya membayar pajak dan bea, karena pendapatan usaha mereka juga menurun karena proses produksi terpaksa terhenti menyusul ketentuan pemerintah agar setiap orang, termasuk karyawan perusahaan, bekerja dari rumah.

BACA JUGA: Cegah Virus Corona, NU Lakukan Launching Penyemprotan Disinfektan Covid-19

Berkurang drastisnya atau bahkan kehilangan penghasilan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, terutama para pelaku UMKM dan pekerja sektor informal seperti pedagang makanan keliling dan pengemudi ojol dapat berpotensi pada munculnya keresahan atau gejolak sosial.

Tjoki menilai kurang tepat apabila kemudian Pemerintahan Presiden Jokowi mengambil langkah yang sama dengan pemerintahan di masa lalu, dengan memberlakukan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk menyehatkan bank-bank yang terdampak untuk memulihkan sistem moneter karena memang bank-bank Indonesia saat ini relatif lebih siap menghadapi situasi ekonomi saat ini.

Dinilainya pula bahwa apabila Jokowi mengambil kebijakan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) bagi warga terdampak sebagaimana diambil oleh pemerintahan sebelumnya, kebijakan tersebut bukan merupakan solusi yang efektif.

Kebijakan BLBI dan pemberian BLT di masa lalu terbukti rentan terhadap terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan yang merugikan keuangan negara dalam jumlah fantastis, dengan indikasi puluhan hingga ratusan triliunan rupiah.

BACA JUGA: LPBI NU DKI Jakarta Selenggarakan Kegiatan Orientasi Kebencanaan Bagi Kader-kader Penanggulangan Bencananya

arenanya Tjoki mengusulkan sekiranya negara dapat mempertimbangkan untuk menerapkan sistem moneter Islami atau berdasarkan syari’ah sebagai alternatif, atau untuk melengkapi sistem moneter konvensional yang selama ini berlaku.

Dengan memberikan contoh Surat Berharga Syari’ah Negara (SBSN) sebagai instrumen penghimpunan dana bebas riba, disarankannya pemerintah menerbitkan SBSN dengan pemberian insentif yang lebih menarik kepada pembeli potensial di dalam dan luar negeri untuk mendapatkan dana segar yang dibutuhkan Negara.

Pelaksanaannya mungkin bukan hal yang mudah, namun setidaknya opsi ini patut dipertimbangkan.

Untuk mengatasi gejolak sosial atau krisis di masyarakat, Tjoki menyarankan sekiranya opsi pemberian zakat, infaq dan shodaqoh (ZIS) dapat dipertimbangkan. Zakat, misalnya, pelaksanaan pengumpulan, penyimpanan, dan penyalurannya terbukti terhindar dari kemungkinan penyimpangan, karena meskipun tidak diserahkan langsung oleh muzakki (pemberi zakat) kepada mustahiq (penerima yang berhak), dan melalui amil atau lembaga amil zakat, pengelolaan penerimaan, penyimpanan, dan pendistribusiannya tidak hanya berdasarkan syariah, namun juga di bawah pengawasan langsung pengurus masjid atau lembaga amil zakat, infaq dan shodaqoh (LAZIS), yang di tingkat nasional dinaungi oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Amil zakat seyogyanya bukan pengurus masjid atau bukan marbot (penjaga masjid), meski Tjoki mengakui mungkin masih ada perbedaan pendapat diantara ulama mengenai hal ini.

BACA JUGA:  IMF Sebut Pandemi Covid-19 Picu Krisis Ekonomi Global

Tjoki memuji langkah yang dilakukan BAZNAS yang mengembangkan 500 warung ZMart di wilayah ibukota Jakarta, yang menurutnya tepat untuk memberdayakan ekonomi para mustahiq. Melalui warung yang dijalankan mustahiq tersebut, BAZNAS membantu dari aspek pembiayaan warung dan pendampingan mustahiq menjalankan usaha, menerbitkan voucher senilai maksimal Rp. 200 ribu kepada mustahiq untuk membelanjakan kebutuhannya melalui warung tersebut.

Tjoki menyambut baik pula inisiatif BAZNAS sebagaimana dijelaskan Dr. Irfan Syauqi Beik, Direktur Pendistribusian dan Pendayagunaan lembaga amil zakat nasional tersebut pada suatu diskusi online yang diselenggarakan Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim, Malang, baru-baru ini (4/4), yakni merekrut para pengemudi ojol untuk bekerja sebagai amil mengumpulkan zakat menjelang masuk waktu bulan suci Ramadhan pada minggu terakhir April 2020.

Menanggapi fenomena menurunnya aktivitas ekonomi, IHSG hingga nilai tukar rupiah secara drastis, Tjoki yang juga Magister Ilmu Hubungan Internasional dan Perdagangan Universitas Monash, Australia, dan pengurus Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) DKI Jakarta yang merupakan organisasi cendekia NU, meminta pemerintah memperhatikan 3 hal penting, yakni regulasi, literasi, dan kelembagaan.

Regulasi atau kebijakan yang diambil Negara kiranya perlu mempertimbangkan dengan positif mengadopsi sistem ekonomi syari’ah untuk melengkapi sistem ekonomi konvensional di Indonesia. Literasi, melalui edukasi bagi para pelaku ekonomi, pengusaha, UMKM, dan pemangku kepentingan lainnya, sehingga mereka dapat memperoleh pemahaman yang sama mengenai problem bersama yang dihadapi, untuk mencari solusinya. Kelembagaan merujuk pada berfungsinya dengan efektif lembaga-lembaga dan pelaku ekonomi serta pemangku kepentingan terkait lainnya, dan berjalannya dengan baik dan lancar interaksi antar mereka dalam bekerja sama mengatasi dampak bencana ganda ini terhadap perekonomian Indonesia.

Pemikiran menjadikan sistem moneter Islami alternatif untuk menutup kelemahan yang mungkin muncul dari sistem moneter konvensional kiranya tidak ditanggapi dengan sikap “alergi” atau reservasi karena mengasosiasikannya dengan pemahaman syari’ah yang identik dengan Islam konservatif atau bahkan radikal, yang selama ini telah dimanipulasi kelompok-kelompok ekstrim seakan mentolerir dilakukannya aksi kekerasan dalam penerapan sistem.

Tjoki meminta agar semua elemen bangsa Indonesia menunjukkan kebesaran jiwa dalam menyikapi ide penerapan sistem moneter dan ekonomi Islami berdampingan dengan sistem moneter dan ekonomi konvensional.

 

KOMENTAR