Adhie M Massardi: Pilkada Kota Makassar Sudah Tidak Wajar

Inakoran

Tuesday, 03-04-2018 | 07:52 am

MDN
Koordinator GIB Adhie M Massardi [ist]

ong>Jakarta, Inako

KPU, Bawaslu dan Kapolri diminta untuk terus memantau secara seksama pilkada kota Makassar. Pasalnya, ada hal yang tidak wajar dalam proses pemilihan walikota Makassar pada 2018 ini.

Permintaan tersebut disampaikan inisiator Gerakan Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih Adhie M Massardi kepada wartawan di Jakarta, Senin (2/4/2018).

Menurut Adhie, secara umum pilkada serentak 2018 yang digelar di 171 lokasi (17 provinsi, 115 kabupaten dan 39 kota) ini memang berlangsung biasa-biasa saja. Tidak melahirkan pertarungan gagasan tokoh-tokoh lokal fenomenal yang akan mengangkat nasib, harkat dan martabat rakyat di daerahnya.

“Tapi khusus pilkada di (kota) Makassar, ada proses tidak wajar yang berlangsung secara terbuka, dan tidak mendapat perhatian secara nasional sehingga dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi kita,” katanya.

Menurut koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini, proses yang tidak wajar itu dimulai dari hengkangnya semua parpol pendukung salah satu paslon (Danny Pomanto-Indira Mulyasari) yang dilarikan ke paslon lain (Munafri Arifuddin-Rahmatika Dewi) sehingga paslon yang ditinggal semua parpol tersebut harus maju lewat mekanisme perseorangan (independen).

“Dari kasus ini saja, kita bisa menduga ada aliran dana besar untuk membayar (mahar) 10 parpol yang kemudian mendukung pasangan (Munafri Arifuddin- Rahmatika Dewi) yang diketahui publik sebagai menantu pengusaha kondang Aksa Mahmud yang juga kerabat dekat Wakil Presiden Jusuf Kalla,” kata Adhie.

Tidak cukup sampai di situ. Adhie juga menengarai ada permainan hukum (kriminalisasi) untuk menghadang paslon (Danny Pomanto- Indira Mulyasari) yang sudah dipreteli dukungan parpolnya.

Adhie mencontohkan masuknya “kasus” pengadaan pohon ketapang dan pembagian smartphone kepada seluruh RT/RW ke ranah hukum, yang dijalankan Danny Pomanto sebagai (petahana) walikota Makassar.

“Ada dua ketidakwajaran dalam kasus tersebut. Pertama, Polda Sulsel tidak mengindahkan instruksi Kapolri yang tidak akan memproses persoalan hukum paslon yang sedang berlaga di medan demokrasi. Apalagi bila yang mengadukan lawannya di pilkada.”

“Kedua, kebijakan yang dijalankan petahana (Danny Pomanto) berdasarkan Perda (peraturan daerah) dan menggunakan APBD (uang negara) belum bisa masuk ke ranah hukum sebelum ada audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembanguna) dan dinyatakan ada penyimpangan serta merugukan keuangan negara.”

“Kalau ada OTT (operasi tangkap tangan) penyuapan yang berhubungan program pemerintah daerah, lain lagi soalnya,” ungkap mantan juru bicara Presiden RI Gus Dur ini.

Makanya, demi terjaganya proses demokrasi yang baik dan jujur, apa yang terjadi di (kota) Makassar harus mendapat pengawasan secara nasional.

“Makanya, KPU pusat, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI dan Kapolri tidak boleh alpa dalam mengawasi proses pilkada di daerah, khususnya di Makassar yang bisa jadi penyimpangannya melibatkan orang-orang kuat di Pusat,” tegas Adhie. (yos nggarang)

 

 

 

 

 

 

KOMENTAR