Analisis Kekuatan Branding Politik Dedi Mulyadi

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
JAKARTA, INAKORAN
Kekuatan branding politik Dedi Mulyadi hingga mendapatkan trend positif dalam persepsi publik karena ia berhasil menggabungkan elemen elemen "pemasaran politik" dengan meletakkan kekuatan nilai keteladanan dan maslahat publik dalam strategi komunikasi politik.
Dedi Mulyadi begitu besar mendapatkan perhatian publik dibanding politisi lain dengan trend positif dalam persepsi publik, bahkan salah satu TV nasional dalam program "Catatan Demokrasi' mengangkat tema tentang kekuatan branding politik Dedi Mulyadi.
Branding politik dalam definisi sederhana adalah proses menciptakan dan mengelola "citra" politik seseorang (juga partai politik) dengan tujuan membangun relasi emosional dengan pemilih.
Branding politik begitu penting di era rezim politik elektoral yang semakin kompetitif di tengah arus media sosial yang berlimpah untuk membangun citra "pembeda" dari lawan atau politisi lain untuk menarik dukungan publik pemilih.
Tidak sedikit politisi atau kepala daerah lain melakukan pencitraan seperti Dedi Mulyadi misalnya masuk ke gang gang kumuh, menyapa pedagang di pinggir jalan, terjun ke kali kotor penuh sampah dan lain lain dalam sorot kamera tapi dari sisi branding politik tak sekuat Dedi Mulyadi.
Di sinilah pembedanya. Branding politik dalam konteks Dedi Mulyadi tidak ia letakkan sekedar untuk menciptakan identitas diri "unik" dan "pembeda" untuk dapat dikenali oleh publik seperti konsisten pakai "ikat kepala" khas Sunda dalam tampilannya
Ia juga tampil dengan kekuatan slogan, narasi dan pesan yang mencerminkan nilai nilai, visi dan misi yang diusungnya sehingga publik mudah mengasosiasikan diri bahwa Dedi Mulyadi adalah figur politik harapan dan rujukan keteladanan publik .
Dengan kata lain ia tidak sekedar turun dan "blusukan" dalam sorot kamera untuk mendengar dan mengecek berbagai persoalan sosial tapi juga memiliki kekuatan visi yang "men drive" gagasan dan terobosan kebijakan kebijakan hingga membentuk kekuatan relasi emosional dengan persepsi pemilih.
Profesor Burhanudin Muhtadi, Direktur Eksekutif lembaga survey "Indikator Politik" melalui riset media sosial melakukan perbandingan tentang trend persepsi publik terkait program efisiensi anggaran yang dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Hasilnya berbeda, satu sisi persepsi publik dalam trend negatif terhadap kebijakan efisiensi yang dilakukan Pemerintah Pusat di sisi lain Dedi Mulyadi adalah figur kepala daerah dengan "tune" positif dalam persepsi publik dalam hal efisiensi anggaran.
Kuncinya menurut Burhanudin terletak pada keberanian memulai dari keteladanan dirinya. Ia memangkas "kemewahan protokoler" untuk dirinya dalam alokasi anggaran -;selain ia kuat dalam gagasan, cepat dalam terobosan dan memiliki kemampuan taktis dalam teknokrasi politik.
Bahkan bukan sekedar anggaran "pakaian dan perjalanan dinas" dirinya yang ia pangkas tetapi juga belanja rutin birokrasi. Belanja iklan Pemerintah Provinsi Jawa Barat pun dari 50 Milyar, dipangkas hanya tersisa sebesar 3,1 milyar, sebuah efisiensi sangat besar dan sangat berarti untuk dialokasikan dalam belanja publik.
Di titik maslahat publik itulah salah satu kekuatan branding politik Dedi Mulyadi dalam strategi komunikasi politik.
Inilah sebuah perspektif dalam kaidah "fiqih politik" disebutkan "tashorruful imam 'ala Al roiyah manutun bil maslahah", bahwa nilai kepemimpinan politik sepenuhnya diletakkan dalam ruang orientasi maslahat publik.
Diksi "imam" dalam kaidah "fiqih politik" tersebut adalah spektrum nilai dengan implikasi politik bahwa ucapan dan tindakan seorang pejabat publik adalah keteladanan untuk diikuti rakyat sebagaimana imam diikuti makmumnya.
Di sini resiko menjadi pejabat publik tidak sekedar terletak pada beban beban kerja bersifat teknis misalnya membangun jalan, jembatan, irigasi dan infrastuktur fisiknya. Itu semua memang pekerjaan penting bagi maslahat publik tapi bersifat kerja teknis sangat mudah.
Pasalnya uang dalam APBD sudah tersedia dari pajak keringat rakyat. Sumber daya birokrasi terdidik sebagai support system sudah "siap pakai" dan ekosistem kerja dari perencaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi sudah terstandardisasi dalam regulasi.
Dalam konteks ini Gubernur dipilih rakyat tidak sekedar memiliki tanggung jawab dalam kerja kerja teknis, tidak mewakili kemewahan protokoler untuk dinikmati melainkan mewakili perasaan, harapan dan kecemasan rakyat yang menjadi 'makmum", rakyat pemilihnya.
Pesannya bahwa menjadi pejabat publik adalah imam setidaknya seorang Gubernur ibarat imam bukan sekedar memenuhi "syarat" dan "rukun" shalat tapi juga berakhlak terpuji sehingga layak menjadi imam.
Artinya, seorang Gubernur bukan sekedar tidak melanggar aturan menurut standart regulasi tapi bertindak sepenuhnya mempertimbangkan kepantasan dan maslahat di ruang publik, tidak "flexing" di media sosial di atas derita rakyat.
Nasehat Rasulullah "ibda' bi nafsik", mulai lah dari dirimu - adalah kunci bahwa keberhasilan kepemimpinan politik dalam sejarah peradaban adalah moralitas keteladanan.
Tanpa moral keteladanan - kepemimpinan politik ambyar tanpa nilai. Itulah beratnya menjadi Gubernur atau pejabat publik tapi mulia bagi yang menghayati panggilan menjadi pejabat publik sebagai imam, yakni sumber moral keteladanan bagi rakyat yang dipimpinnya.
Dalam konstruksi inilah kekuatan sekaligus yang membedakan "keunikan" branding politik Dedi Mulyadi dari umumnya politisi atau kepala daerah daerah.
Inilah branding politik yang mencerminkan kekuatan visi yang diusung dalam kepemimpinan politiknya untuk sepenuhnya berorientasi sebesar besarnya maslahat publik.
Mari kita kawal konsistensinya di ruang publik dengan partisipasi secara kritis dan konstruktif.
TAG#ADLAN, #DEDI MULYADI
195039502

KOMENTAR