Apa Urgensi Mengisi Kursi Kosong Wakil Bupati Indramayu?

Hila Bame

Tuesday, 23-05-2023 | 12:52 pm

MDN

 

 

Oleh. : H. Adlan Daie
Pemerhati politik dan sosial keagamaan

JAKARTA, INAKORAN

Dalam perspektif desentralisasi politik dan otonomi daerah siapa pun berhak bahkan boleh berambisi hingga ke "ubun ubun kepala" memburu kursi kosong wakil bupati Indramayu tapi tidak memadai sekedar memburu "rekomendasi" partai dan loby kendali "dari atas" dalam proses "pengamanan" jalannya mekanisme politik formal - tanpa menimbang ambang batas kepatutan publik, kearifan lokal dan urgensi manfaatnya.


Demikian respon penulis kepada seorang kawan pensiunan pejabat di Indramayu saat ia mengirimkan link berita tentang bakal calon wakil bupati lengkap dengan pose fothonya bersama salah seorang ketua partai pengusung dan vidio tentang unjuk rasa penolakan ormas GRIP Indramayu terhadap seseorang yang diduga "super ambisius" memburu jabatan wakil bupati yang kosong ditinggalkan Lucky Hakim.


Rekayasa dan "akal akalan" politik untuk mengatur remote mekanisme politik "dari atas" dalam teori politik modern Steven Levitsky disebut "uncivil politics", yakni militerisasi dan "premanisasi" proses politik sipil. Rentan mendapatkan penolakan massif dari publik secara luas. 


Dengan kata lain dalam spirit desentralisasi politik di atas persoalannya bukan "siapa" mampu memainkan "loby.atas" untuk memburu kursi kosong wakil bupati  - apalagi tidak dipilih langsung oleh rakyat -  akan tetapi juga  harus menimbang representasi sosial, ambang batas kearifan lokal, kepatutan publik dan urgensi maslahatnya minimal membantu penguatan relasi politik antara bupati dan DPRD.


Para analis "big data" dalam riset mutakhir menemukan fakta makin menguatnya trend sentimen negatif publik terhadap pola pola rekayasa politik "dari atas". Gagalnya ambisi elite politik memaksakan skenario jabatan presiden tiga periode dan perpanjangan masa jabatan presiden misalnya karena ambang batas "kepatutan" publik  tidak sederhana untuk direkayasa dan ditaklukkan para elite politik.


Inilah pelajaran berharga dalam konteks mengisi jabatan kursi kosong wakil bupati Indramayu bahwa siapa pun yang berambisi bahkan hingga ke "ubun ubun kepala" sekalipun hendaknya bercermin diri, "ngaca" dan meletakkan diri dalam ambang batas "rasa" kepantasan dan kearifan lokal publik.


Secara "fisik" publik mungkin mudah ditaklukkan tapi "rasa" kepatutan publik dan kearifan lokal selalu dituntun sejarah untuk menemukan jalan kebenarannya sendiri.


Kasus "Sambo" masih terang dalam ingatan kolektif kita betapa pun ia nyaris "sempurna" memegang kendali perangkat hukum dan back up politik justru seketika dengan mudah dibanting sejarah ke "jurang nista" akibat ambisi kuasanya "unlimited" -, tak menimbang rasa kepatutan dan kearifan lokal publik.


Penulis tentu percaya tiga partai pengusung (PDIP, Gerindra dan Nadem), bupati dan DPRD sebagai "stakeholder" dalam proses pengisian dan penetapan wakil bupati memiliki kearifan politik dalam menimbang maslahat dan berkah dari pilihan wakil bupati untuk mengisi kursi kosong yang ditinggalkan Lucky Hakim.


Kehadiran wakil bupati kelak jika memang diperlukan -  apalagi sekedar "nebeng" tidak dipilih langsung oleh rakyat - harus diletakkan pada aspek urgensi maslahatnya bagi publik dan dihindarkan sekedar menjadi beban APBD, lebih lebih menjadi beban "musibah" tambahan dalam pola relasi politik antara bupati dan DPRD.  Na'udzu billah !!!
 

 

 

TAG#ADLAN

188677886

KOMENTAR