Bom waktu Pendidikan: Jumlah Lulusan PT meningkat VS Lapangan Kerja yang menyempit

Hila Bame

Monday, 11-05-2020 | 09:33 am

MDN

Oleh : Tjoki Aprianda Siregar Alumnus Monash Univerty

 

Jakarta, Inako

 

Fakta menunjukkan bahwa jumlah pengangguran terdidik lulusan perguruan tinggi selama kurun waktu 4 tahun cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Dalam kurun waktu Agustus 2014 – Agustus 2018, data Badan Pusat Statistik (BPS) terjadi kenaikan tingkat pengangguran dari 5,65% menjadi 5,89%.

Padahal tingkat pengangguran lulusan diploma (D1 – D3) dalam periode yang sama turun dari 6,14% menjadi 6,02%, dan tingkat pengangguran lulusan SMK turun dari 9,15% menjadi 7,95%.

BACA JUGA: Skandal kamar ke-N menggeser fokus orang dari korban ke pelanggar

 

Meningkatnya jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi secara akumulatif 5,77% (dengan menggabungkan tingkat pengangguran tingkat sarjana dengan diploma 1 hingga diploma 3) dibandingkan menurunnya tigkat pengangguran lulusan sekolah menengah belum tentu berarti kualitas lulusan perguruan tinggi tidak sesuai standar atau ekspektasi pengguna (users).

BACA JUGA :     Perennial Menjual Saham di TripleOne Somerset ke Raja Kasino Stanley Ho's Shun Tak Seharga $ 155 juta

Namun dapat saja perusahaan mensyaratkan pengalaman bagi pelamar untuk dapat diterima, keahlian para sarjana tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh dunia usaha atau industri, lulusan perguruan tinggi memilih belum mencari kerja karena pilihan (by choice), karena ingin merintis usaha bersama kawan-kawannya, atau secara sendirian berwirausaha.

Bertambahnya pengangguran bisa disebabkan jumlah tenaga kerja baru lulusan perguruan tinggi tidak seimbang dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia.

Fenomena ini merupakan masalah klasik yang dihadapi negara mana pun, termasuk Indonesia. Dari fakta di atas, dapat diasumsikan bahwa jumlah lapangan kerja untuk lulusan perguruan tinggi yang ada terbatas, sementara jumlah lapangan kerja bagi lulusan sekolah menengah meningkat.

Terdapat 4 poin dari konsep ini:

(i). mengubah status perguruan tinggi negeri (PTN) yang semula satuan kerja (satker) dan badan layanan umum (BLU) menjadi badan hukum atau PTN-BH;

(ii). menyederhanakan proses akreditas;

(iii). PTN dan perguruan tinggi swasta (PTS) diberikan otonomi oleh pemerintah untuk membuka prodi baru; dan

(iv). perguruan tinggi diminta mengalokasikan dua semester bagi para mahasiswanya untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi mereka di luar kelas selama sedikitnya dua semester, seperti magang, kerja praktik, mengajar di salah satu sekolah di daerah terpencil, melakukan riset dengan dosen, atau membantu mahasiswa tingkat pendidikan lebih tinggi (S2 atau S3)  melakukan penelitian.

Fakta Singapura dan kemajuan Pendidikan negara itu

Mendalami masalah-masalah perguruan tinggi Indonesia di atas, kita mungkin perlu mempelajari pengalaman Singapura dalam membangun sistem pendidikannya hingga dapat menjadikan dua dari 7 universitasnya masuk ke dalam peringkat atas terbaik di kawasan Asia Pasifik.

BACA JUGA:    Marina One, Hasil Kolaborasi Singapura-Malaysia

Faktor penting yang mempengaruhi anak-anak muda Singapura memiliki semangat belajar tinggi, hingga setelah lulus mereka juga berdaya saing tinggi di dunia kerja.

Pertama, faktor kebiasaan mereka sejak kecil untuk “menghindari kekalahan dalam persaingan”, dan

kedua, kebiasaan mereka sejak kecil pula untuk “menghindari berbuat salah”. Baik orang tua maupun tempat mereka bersekolah hingga dewasa menerapkan nilai-nilai yang disebut “kiasu” (tidak mau kalah) dan “kiasi” (tidak mau berbuat keliru) yang sesungguhnya berasal dari budaya Hokkien di Tiongkok. Nilai-nilai ini ditanamkan dari unit terkecil masyarakat, yakni keluarga, sejak mereka masih kanak-kanak.

BACA JUGA:   Otoritas Moneter Singapura(MAS): Memperingatkan Tentang kehilangan Pekerjaan, Pertumbuhan upah Lambat karena Resesi Tampak

 

TAG#PENDIDIKAN

188667726

KOMENTAR