BUYA SYAFII MA’ARIF: Wujudkan Keadilan Sosial, Pemimpin Jangan Berpura-pura
Jakarta, Inako
Memasuki hari ke-14 Ramadan 1441 Hijriyah (7 Mei 2020), Direktorat Sosialisasi, Komunikasi dan Jaringan, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) kembali melaksanakan diskusi Ramadan daring dengan tema “Sila ke-5 Pancasila Perspektif Ayat-ayat Makkiyah”.
Bertindak sebagai narasumber adalah Anggota Dewan Pengarah BPIP, Prof. Dr. Ahmad Syafii Ma’arif atau yang akrab dipanggil Buya Syafii Ma’arif, dengan moderator Direktur Kajian Materi, Dr. Mohammad Sabri.
Sekitar 84 orang peserta dari berbagai daerah di Indonesia dan seorang di antaranya dari New Delhi, India, ikut berdiskusi menggunakan aplikasi Zoom. Selain menggunakan Zoom, kegiatan ini juga disebarluaskan langsung melalui Youtube streaming BPIP, demikian rilis BPIP yang diterima inakoran.com Jumat, (8/5/2020)
BACA JUGA: DKI Jakarta Amburadul Salurkan Bansos dan BLT
Direktur Sosialisasi Komunikasi dan Jaringan, Aris Heru Utomo, dalam pembukaanya menyampaikan bahwa pemilihan tema keadilan sosial tidak terlepas dari fakta bahwa keadilan sosial merupakan hal penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Seringkali masalah keadilan sosial menjadi pemicu terjadinya ketegangan sosial yang disebabkan ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan hukum. Karenanya menjadi penting untuk memaknai keadilan sosial dari sudut pandang Al Quran, khususnya ayat-ayat Makkiyah, dan kaitannya dengan keadilan sosial menurut sila ke-5 Pancasila.
Narasumber Buya Syafii Ma’arif membuka diskusi dengan menyampaikan pentingnya mencapai tujuan keadilan sosial dalam kehidupan Indonesia merdeka, terlebih hingga lebih dari 74 tahun Indonesia merdeka, kita masih belum bisa mewujudkan keadilan sosial tersebut.
BACA JUGA: Kepala BPIP: Masa Depan Akan Lebih Baik Dari Sekarang
Untuk menggambarkan keadilan sosial dalam perspektif ayat-ayat Makkiyah, Buya merujuk penjelasannya pada tiga ayat Al Quran yaitu Al-Balad (negeri), Al-Humazah (suka mengumpat) dan Al-Ma’un (orang-orang suka menolak memberikan pertolongan).
Menurut Buya, ketiga surat tersebut memberi gambaran situasi masyarakat Qurays Makkah pada saat itu yang didominasi oleh sekelompok oligarki penguasa ekonomi tapi tidak punya kepedulian terhadap kaum yang lemah dan memberlakukan orang-orang miskin secara tidak manusiawi. Situasi dan kondisi yang masih terjadi hingga saat ini.
Padahal seperti disampaikan dalam Firman Allah dalam QS Al-Balad “… dan kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebaikan dan kejahatan), tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar? Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu? (yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya)…’” Allah telah menunjukkan jalan bagaimana membawa keadilan di muka bumi ini.
Keadilan, persamaan dengan tidak memandang bulu apapun suku dan agamanya. “Terhadap orang tidak beragamapun tetap harus disantuni, ini pesan Al Quran.” tegas Buya Syafii Ma’arif.
Tetapi menurut Buya, ajaran yang begini hebat dan revolusioner tersebut tidak diperhatikan oleh orang-orang Islam selama berabad-abad, kalaupun ada yang memperhatikan atau mengamalkan itu sangat terbatas.
Selanjutnya Buya menjelaskan ayat QS Al Humazah yang berbunyi “Celakalah bagi orang yang mencaci maki, yaitu orang-orang yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya.” Ayat tersebut menggambarkan hak yang terjadi di Mekkah pada saat itu yang membuat Nabi Muhammad SAW berpikir dan risau sehingga diberi petunjuk oleh Allah yang maha Esa bahwa Allah SWT mengajarkan tentang kesatuan ummat manusia, adapun berbeda agama itu adalah lumrah.
Buya Syafii Ma’arif selanjutnya menegaskan bahwa orang yang hanya mengumpulkan harta dan kemudian hanya menghitung-hitungnya untuk diri sendiri tetapi tidak memperhatikan masyarakat, itu imannya tidak beres.
Menurut Buya Syafii Ma’arif, Islam bukan anti kekayaan, Islam adalah pembela orang miskin tetapi pada waktu yang sama kemiskinan itu harus lenyap dimuka bumi yaitu adanya kewajiban membayar zakat, “wa’atu zakat” itu artinya orang Islam tidak boleh miskin, kemiskinan itu harus bersifat sementara.
Buya kemudian memberikan penjelasan yang lebih substantif dalam bernegara dan beragama. Dalam Islam tidak ada perintah menerima zakat, yang ada adalah perintah mengeluarkan zakat. Dalam prakteknya, tidak sedikit ummat Islam terjabak dalam kemunafikan.
Di satu satu sisi sholatnya rajin, naik haji berkali-kali, tapi tidak punya kepedulian kepada fakir-miskin. Sementara pada praktek bernegara, fakir-miskin yang semestinya dipelihara oleh negara, tapi justru belum memperoleh perhatian yang serius.
Sejalan dengan itu, Buya Syafii Ma’arif melanjutkan penjelasaanya dengan merujuk pada QS Al-Ma’un mengenai penjelasan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW bahwa orang-orang yang mendustakan agama adalah mereka yang menghardik anak yatim dan enggan menolong atau memberi makan orang miskin.
Artinya, siapapun yang suka berbuat kasar kepada anak yatim dan tidak memiliki kepakaan terhadap yang miskin, mereka itulah hakekatnya golongan yang mendustakan agama.
Pada titik inilah, Buya Syafii Ma’arif menegaskan keselarasan ketiga ayat-ayat dalam Al Quran tersebut dengan nilai-nilai Pancasila.
Kiranya ummat Islam memiliki landasan syar’iah yang kuat untuk mewujudkan sila ‘Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’.
Merealisasikan sila ini memang bukan pekerjaan mudah, tentu membutuhkan upaya yang keras dengan cara setiap pribadi harus mampu menjadi teladan bagi yang lain, jelas Buya Syafii Ma’arif.
Buya menegaskan bahwa pemimpin tidak boleh bertopeng-topeng, berpura-pura pintar, pura-pura dermawan tapi korupsi. Pemimpin tidak hanya mengumbar jargon kata “Pancasila” semata tanpa berbuat yang dapat dirasakan oleh masyarakat.
“Kita harus terus berbuat, kita perbaiki mental kita, kita hidupkan hati nurani kita, kita hidupkan budi pekerti kita, kita hidupkan rasa pemihakan kita kepada orang miskin,” seru Buya Syafii Ma’arif.
BACA JUGA: Anies Bayar Commitment Fee Formula E 2021 Di Tengah Pandemi Covid-19
Buya Syafii Ma’arif berharap Indonesia kekal sampai hari kiamat dengan syarat para pemimpin harus memiliki kepekaan. Untuk itu beliau menghimbau dan mengajak kita semua agar di bulan Ramadan ini untuk bertanya dan memeriksa diri kita sendiri, sampai dimana keimanan kita, sampai dimana fungsinya iman kita.
Dalam perintah agama diterangkan bahwa “jadikan sholatmu untuk mengingat Allah SWT” dan “sholat mencegah perbuatan keji dan mungkar,” sehingga perbuatan yang merusak seperti korupsi, merusak alam karena itu termasuk perbuatan yang mungkar.
Selanjutnya Buya Syafii Ma’arif mengajak seluruh ummat untuk bersama-sama melaksanakan taubat nasional, karena seperti hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi ”kamu hanya bisa ditolong dan dimenangkan oleh bantuan orang-orang duafa yaitu yang lemah diantara kamu.” Buya merujuk hadits tersebut karena jumlah orang-orang lemah jumlahnya sangat besar (di Indonesia). Kategori miskin yang penghasilannya 2 dolar atau 30 ribu rupiah per hari, jumlahnya besar sekali.
Buya dengan jelas mengungkapkan bahwa praktek ekonomi di negeri ini memang masih menunjukkan kesenjangan yang berakibat pada terjadinya distorsi bahkan amat bertentangan dengan sila kelima.
Kesenjangan makin melebar karena praktek ekonomi yang terjadi lebih mengedepankan aspek kapitalistik.
Dengan tegas Buya menyatakan bahwa ‘Keadilan sosial tidak mungkin terealisasi sepanjang praktek kapitalisme merajalela di negeri ini’. Untuk itu, semua pihak harus bertindak dan berbicara terkait soal ini dengan bijak.
Dalam upaya mewujudkan “Keadilan Sosial”, sikap pesimisme tidak semestinya terbersit dalam pikiran setiap anggota warga masyarakat. Sikap pesimisme bukanlah pribadi seorang muslim yang baik. Justru optimisme harus dihadirkan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara menuju terwujudnya sila kelima tersebut.
Buya mellihat bahwa saat ini kita masih lalai dalam mewujudkan keadilan sosial berdasarkan Pancasila. Karenanya sekarang saatnya untuk menajamkan pemahaman, kepekaan terhadap agama, apapun agama dan kepercayaannya, dan bersatu kembali dalam kemanusiaan. “Berbeda dalam persaudaraan dan bersaudara dalam perbedaan,” ujar Buya Syafii Ma’arif.
Sebagai penutup Buya Syafii Ma’arif mengingatkan bahwa kita memiliki Pancasila yang bagus, namun demikian jangan dibiarkan Pancasila tergantung di awan tinggi. Pancasila perlu diturunkan ke bumi, bersama-sama kita mewujudkannya. Adalah tugas BPIP untuk menyadarkan bangsa ini untuk melaksanakan Pancasila dalam arti yang benar, dalam arti yang konkrit, dalam arti tegaknya KEADILAN SOSIAL.
Jakarta, 7 Mei 2020
KOMENTAR