Dedi Mulyadi dan Jawa Barat Sebuah Visi Tentang Provinsi Religius Berbasis Ilmu

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
JAKARTA, INAKORAN
Visi Dedi Mulyadi Gubernur Jawa Barat untuk menjadikan Jawa Barat sebagai provinsi religius berbasis ilmu memberi gambaran sebuah perspektif bahwa ia tidak sekedar piawai dalam "practical politics" (politik praktis), merangkai peta jalan kekuasaan
Ia sekaligus memiliki standart keilmuan dengan basis akademik sangat kuat setidaknya dapat dibaca dari sudut pandang dan perspektifnya membaca problem sosial dan budaya di Jawa Barat dan "cara" menarasikan pikiran pikirannya secara terstruktur di ruang publik.
Visi Jawa Barat sebagai provinsi religius berbasis ilmu adalah visi yang jauh berbeda dari kecenderungan arus besar di mana selama ini visi religius selalu dijadikan instrument branding kekuatan politik di Jawa Barat, tumbuh subur dalam momentum kontestasi politik elektoral
Inilah "imagined Community", mengutip judul buku Bend Anderson, sebuah masyarakat yang dibayangkan dalam perspektif visi Dedi Mulyadi di provinsi Jawa Barat, yakni masyarakat religius bertumbuh dalam literasi keilmuan agama yang kuat dengan sanad keilmuan "mu'tabarah", akuntabel.
Visi di atas disampaikan Dedi Mulyadi saat (dulu) bersilaturahim bersama para kiai dan ulama di Pesantren Al Muhajirin kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, pimpinan Prof. Dr. KH. Abun Bunyamin, MA - yang juga Rois Syuriah NU Jawa Barat ("Tempo", 25 Juli 2024).
Salah satu strateginya dalam pandangan Dedi Mulyadi adalah pentingnya tenaga pendidik di sekolah menengah yang memiliki basis pesantren. Kelemahan saat ini menurutnya "banyak orang bicara soal agama tapi tidak memiliki basis pemahaman Al Qur an, hadist dan kitab kitab", ujarnya.
"Guru guru SMA, kan tidak berasal dari pesantren sehingga kita ingin agar di sekolah ada tenaga pendamping non ASN yang memiliki kemampuan tafsir Al Qur an, hadist dan kemampuan membaca kitab", ujarnya lebih lanjut dalam forum silaturahim di atas.
Penulis meletakkan visi Dedi Mulyadi di atas tidak sekedar strategi skema akomodasi mengenalkan pelajaran "kitab kitab" di sekolah sekolah umum, lebih jauh, adalah sebuah model ijtihad politik dalam proyeksi jalan masa depan menghadapi tantangan sosiologis keagamaan di Jawa Barat.
Pasalnya mereka (dalam kelompok usia "gen z" dan "milenial") dalam penelitian "Boston Consulting Group" (BCG) secara umum dicirikan "gampang bosan", "no Gadget no life", instan, cenderung mudah terpapar radikalisme agama sebagai gaya hidup dan lain lain.
Di Jawa Barat merujuk hasil penelitian LIPI (2018) populasi muslim meskipun 80% dekat dengan tradisi keagamaan ormas NU : gemar ziarah kubur, tahlilan dll tetapi hanya 9% mengasosiasikan diri pada NU dan 14 % berbagi pada semua ormas Islam.lain selain NU (Muhammadiyah, dll).
Dalam perspektif Prof Jakob Sumardjo (1989) karakter Islam sunda (72%) dari populasi muslim di Jawa Barat berbeda ekspresi dan coraknya dengan Islam Jawa di mana NU lebih "at home" di dalamnya - etnis Jawa 15% dari populasi Jawa Barat.
Konstruksi sosiologis "islam sunda" di atas dalam perspektif antropologis Prof Dawam Rahardjo (1989) lebih "dekat" dengan "islam.melayu" di mana keterikatan asosiatif populasi muslim di Jawa Barat ke ormas NU "lebih longgar" dibanding Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Temuan survey (2018) Burhanudin Muhtadi, Direktur lembaga "Indikator politik" dalam parameter indeks moderasi beragama populasi muslim di Jawa Barat "lebih potensial" terpapar radikalisme agama dan intoleransi sosial.
Inilah salah satu variabel.yang menjelaskan bahwa massa besar muslim di Jawa Barat di masa lalu menjadi basis elektoral terbesar partai Masyumi (Partai Islam) dengan raihan 26%, pemenang pemilu di Jawa Barat pada pemilu tahun 1955.
Dalam konteks kekinian bertransformasi menjadi "lahan subur" tumbuhnya komunitas muslim baru perkotaan seperti sosialita atau kelas menengah muslimah "hijabis", pemuda hijrah, pesantren modern hingga komunitas kafe, pusat kebugaran dan trend musik islami dan lain lain. Puncak momentum dan spirit penguatannya dari effect demontrasi besar 212 (2017) dimana basis "suplay" massa besar secara militan dari.Jawa Barat.
Menguatnya fenomena "gaya hidup" dan atribusi lahiriyah keagamaan di atas termasuk di dalamnya kegandrungan baju gamis, cadar, celana cingkrang dan lain lain dalam derajat tertentu dapat kita pahami sejauh sebagai bentuk out put dari ekspresi keyakinan atas agamanya
Akan tetapi menjadi problem secara sosial jika dipahami paling "syar'i", paling "islami" lalu mudah melabeli pihak lain di luar kelompoknya sebagai "thaghut" dan "kafir". Itulah problemnya dalam proses penguatan integrasi kebangsaan.
Di sini urgensi meletakkan tawaran Dedi Mulyadi dalam konteks penguatan pengajaran agama di sekolah sekolah umum (SMA) berbasis pendampingan tenaga pengajar dari dunia pesantren sebagai strategi jangka panjang menjadikan provinsi Jawa Barat sebagai provinsi religius berbasis ilmu, tidak diletakkan sebagai instrument kekuatan politik praktis
Dalam konteks ini pula keterlibatan NU sebagai ormas Islam terbesar di Jawa Barat dengan doktrin keagamaan moderat dan toleran berbasis keilmuan pesantren begitu kuat sangat penting dalam kerangka kolaborasi bersama pemerintah provinsi Jawa Barat dalam menjadikan Jawa Barat sebagai provinsi religius berbasis ilmu.
Mari kita tunggu implementasi visi mulia di atas dalam agenda agenda program pemerintah provinsi Jawa Barat dibawah pimpinan Gubernur Dedi Mulyadi dalam kolaborasinya bersama NU dan ormas ormas Islam lain di Jawa Barat.
TAG#ADLAN
189886012
KOMENTAR