Dr. Aartje: Indonesia Perlu Membentuk Pengadilan Ad Hoc Pertanahan

Binsar

Wednesday, 12-06-2019 | 22:06 pm

MDN
Dr. Aartje Tehupeiory, S.H., M.H. [Inakoran.com]

Jakarta, Inako –

Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia, Dr. Aartje Tehupeiory, S.H., M.H., menyatakan, Indonesia perlu membentuk Pengadilan Ad Hoc Pertanahan mulai dari tingkat pertama hinggal tingkat kasasi. Alasannya, masalah yang berkaitan dengan pertanahan saat ini sangat kompleks.

Pernyataan itu disampaikan Aartje dalam perbincangan dengan Inakoran.com, usai menjadi pembicara dalam seminar bertema Makna Konsinyasi Dalam Pengadaan Tanah, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia, di Graha William Soeryadjaya, Kampus UKI Cawang, Jakarta (12/6/19).

Dr. Aartje bersama para nasumber seminar lainnya [Inakoran.com]

 

Menurut Aartje, salah satu masalah pertanahan yang paling dominan saat ini adalah soal pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum, kata Aartje, muncul di saat tanah negara yang tersedia sudah tidak lagi memadai untuk mendukung pembangunan yang dilakukan pemerintah, baik pembangunan dalam skala besar, menengah maupun kecil.

Dalam kondisi demikian, negara biasanya memutuskan untuk melakukan pengadaan tanah yang objeknya adalah tanah-tanah hak, baik yang dipunyai oleh individu/perorangan, badan hukum, maupun masyarakat adat.

 

Dalam proses tersebut, lanjutnya, prinsip yang dipakai adalah musyawara, dan dalam konteks itu, pengadaan tanah untuk kepentingan umum, jarang memunculkan masalah.

Akan tetapi, sambungnya, masalah muncul tatkala musyawarah tidak mencapai kesepakatan, yang salah satu alasannya, karena ketidaksesuain soal besarnya ganti rugi yang akan dibayarkan negara kepada para pemegang hak atas tanah yang diambil untuk pembangunan.

Dalam konteks itu, pemerintah atau instansi yang memerlukan tanah akan mempergunakan lembaga konsinyasi uang ganti rugi ke Pengadilan Negeri di mana lokasi pembangunan itu dilaksanakan.

“Persoalan menjadi sangat rumit, manakala dalam proses pengambilalihan tanah oleh negara ada tindakan sewenang-wenang oleh negara atau negara mengambil begitu saja tanah dari pemegang hak, atas nama kepentingan umum,” jelasnya.

 

Untuk mencegah terjadinya sengketa dalam proses pengadaan tanah, Aartje mengingatkan pemerintah, dalam hal ini Panitia Pengadaan Tanah (P2T), untuk menerapkan dua prisnisp pokok dalam prosedur atau tata cara penerapan konsinyasi yakni prinsip kehati-hatian dan prinsip penghormatan atas hak-hak masyarakat atas tanah.

“Prinsip kehati-hatian harus diterapkan dalam proses pemeriksaan dokumen atas tanah yang akan diambil alih. Sementara prinsip penghormatan atas hak-hak didasari atas kesepakatan bahwa tanah merupakan bagian dari hak asasi warga negara,” tandas Aartje.

 

Selain Dr. Aartje, narasumber lain yang menjadi pembicara dalam seminar itu antara lain Yustus Maturbongs dari Ombudsmand RI, Iwan Nurdin dari Konsorsiusm Pembangunan Agraria serta perwakilan dari BPN dan Kementerian  PUPR.

Seminar ini dihadiri oleh para dosen dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia dan sejumlah undangan dari masyarakat umum lainnya.

KOMENTAR