G7 Nilai Kehadiran Pasukan Korea Utara di Rusia Mengancam Keamanan Indo-Pasifik
Jakarta, Inakoran
Menteri luar negeri Kelompok Tujuh (G7) pada hari Selasa mengkritik keras kolaborasi militer yang semakin dalam antara Korea Utara dan Rusia.
Melansir Kyodonews, dalam pernyataan yang dikeluarkan setelah pembicaraan dua hari di Italia, para Menteri G7 mengatakan bahwa pengiriman pasukan Pyongyang untuk membantu upaya perang Moskow di Ukraina menandai perluasan konflik yang berbahaya dan akan mengakibatkan konsekuensi serius bagi keamanan Eropa dan Indo-Pasifik.
G7 juga menegaskan kembali bahwa dukungannya terhadap integritas wilayah, kedaulatan, dan kemerdekaan Ukraina akan tetap teguh, di tengah kekhawatiran bahwa keengganan Presiden terpilih AS Donald Trump untuk membantu Kyiv dapat melemahkan solidaritas kelompok tersebut setelah ia kembali berkuasa pada bulan Januari.
Mengenai Tiongkok, forum negara-negara demokrasi besar menegaskan kembali penentangannya terhadap kegiatan militerisasi dan pemaksaan serta intimidasi Beijing di Laut Cina Selatan, serta pentingnya perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan.
Kelompok itu juga menyuarakan kekhawatiran atas dukungan Tiongkok terhadap basis industri pertahanan Rusia melalui ekspor material serba guna, sembari menghimbau Beijing untuk menekan Rusia agar berhenti menyerang Ukraina.
Pertemuan di pinggiran kota Roma itu terjadi saat perang Ukraina memasuki dimensi baru dengan pengiriman tentara Korea Utara ke wilayah perbatasan barat Rusia di Kursk, yang memicu spekulasi bahwa Pyongyang dapat memperoleh teknologi militer dan nuklir dari Moskow sebagai balasannya.
Minggu lalu, Kyiv mulai menggunakan rudal jarak jauh yang disediakan Barat seperti Sistem Rudal Taktis Angkatan Darat buatan AS untuk menyerang jauh ke dalam wilayah Rusia. Moskow membalas dengan rudal balistik jarak menengah mutakhir Oreshnik, sementara Presiden Vladimir Putin juga menghidupkan kembali ancaman untuk menggunakan senjata nuklir.
Pembicaraan tingkat menteri ini menyusul kemenangan Trump dalam pemilihan presiden AS pada tanggal 5 November. Pendekatan unilateralisnya yang mengutamakan Amerika Serikat telah menimbulkan ketidakpastian atas masa depan upaya G7 untuk mendorong koordinasi internasional guna mengatasi tantangan bersama.
Dalam sesi hari Senin, para menteri luar negeri bertukar pandangan tentang Timur Tengah, di mana ketegangan tetap tinggi antara Israel dan Iran saat pasukan Israel terus memerangi kelompok militan yang didukung Iran, Hamas dan Hizbullah, masing-masing di Jalur Gaza dan Lebanon.
G7 terdiri dari Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, dan Amerika Serikat, ditambah Uni Eropa. Perwakilan dari negara-negara termasuk Mesir, Ukraina, India, Filipina, dan Korea Selatan diundang ke beberapa sesi penjangkauan.
KOMENTAR