Harga Minyak Dunia Kembali Anjlok: Dipicu Memanasnya Perang Dagang AS-China

Jakarta, Inakoran
Harga minyak dunai kembali tergelincir ke titik terendah dalam lima bulan terakhir. Ketegangan geopolitik antara dua raksasa ekonomi dunia—Amerika Serikat dan China—serta proyeksi surplus pasokan global dari Badan Energi Internasional (IEA) menjadi kombinasi tekanan yang mengguncang pasar energi global.
Mengutip laporan Reuters pada Kamis (16/10/2025), harga minyak mentah Brent turun 48 sen atau 0,8% menjadi US$61,91 per barel. Sementara itu, minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) melemah 43 sen atau 0,7% ke US$58,27 per barel. Kedua harga acuan ini mencatatkan penutupan terendah sejak 7 Mei dan mengalami penurunan dua hari berturut-turut.
Bank of America bahkan memperingatkan bahwa harga Brent bisa jatuh di bawah US$50 per barel jika eskalasi perang dagang terus berlanjut, sementara produksi dari kelompok OPEC+ terus meningkat tanpa kendali.
Ketegangan antara AS dan China kembali memuncak setelah kedua negara saling memberlakukan biaya tambahan di pelabuhan terhadap kapal pengangkut barang. Langkah balasan ini dikhawatirkan akan menghambat arus perdagangan global dan memperburuk sentimen pasar.
BACA JUGA:
Harga Emas Antam Meroket Rp 24.000 Per Gram: Kamis (16/10/2025)
Rekomendasi Saham Pilihan: Kamis (16/10/2025)
Surplus Pasokan Picu Harga Minyak Global Anjlok
China baru-baru ini mengumumkan pembatasan ekspor logam tanah jarang (rare earth), komoditas penting dalam industri teknologi. Sebagai respons, Presiden AS Donald Trump mengancam akan menaikkan tarif impor barang asal China hingga 100% dan memperketat ekspor perangkat lunak mulai 1 November.
Meski demikian, Menteri Keuangan AS Scott Bessent menegaskan bahwa Washington tidak berniat memperuncing konflik. Ia menyebut Trump siap bertemu Presiden China Xi Jinping di Korea Selatan akhir bulan ini, membuka peluang diplomasi di tengah ketegangan.
Di sisi ekonomi, China masih dibayangi tekanan deflasi. Harga konsumen dan produsen kembali menurun pada September, diperparah oleh lesunya sektor properti dan ketidakpastian perdagangan.
Gubernur The Federal Reserve, Stephen Miran, menyatakan bahwa meningkatnya ketegangan dagang menimbulkan risiko penurunan signifikan terhadap prospek ekonomi global. Ia menilai kondisi ini menambah urgensi bagi The Fed untuk memangkas suku bunga acuan guna mendorong pertumbuhan dan permintaan minyak.
Sementara itu, data dari Federal Reserve Chicago menunjukkan bahwa penjualan ritel AS (di luar kendaraan dan suku cadang) kemungkinan masih tumbuh pada September, meski sebagian besar kenaikan disebabkan oleh harga yang lebih tinggi.
Sehari sebelumnya, IEA memperkirakan pasar minyak global dapat mengalami surplus hingga 4 juta barel per hari pada tahun depan. Proyeksi ini lebih tinggi dari sebelumnya, didorong oleh peningkatan produksi dari OPEC+ dan lemahnya pertumbuhan permintaan.
OPEC+ sendiri merupakan aliansi negara-negara anggota OPEC dan mitra seperti Rusia dan Azerbaijan. Produksi yang terus meningkat dari kelompok ini menjadi salah satu faktor utama yang menekan harga minyak.
Di sisi lain, Inggris pada Rabu (15/10/2025) menjatuhkan sanksi baru terhadap dua raksasa energi Rusia—Lukoil dan Rosneft—serta 51 kapal tanker “shadow fleet” sebagai bagian dari upaya memperketat embargo energi dan menekan pendapatan Rusia di tengah konflik Ukraina.
Menurut data energi AS, Rusia merupakan produsen minyak mentah terbesar kedua di dunia setelah AS pada 2024. Sanksi tambahan ini berpotensi menahan lebih banyak pasokan minyak Rusia dari pasar global, menambah kompleksitas dinamika pasokan dan harga.
KOMENTAR