Surplus Pasokan Picu Harga Minyak Global Anjlok

Jakarta, Inakoran
Peringatan Badan Energi Internasional (IEA) mengenai potensi surplus pasokan besar tahun depan, serta meningkatnya ketegangan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China memicu harga minyak dunia anjlok pada perdagangan Rabu (15/10/2025).
Laporan yang dirilis Reuters menyebutkan bahwa harga minyak mentah jenis Brent anjlok US$0,93 atau 1,5% menjadi US$62,39 per barel, sedangkan minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) turun US$0,79 atau 1,3% ke level US$58,70 per barel. Kedua harga acuan tersebut kini berada di titik terendah dalam lima bulan terakhir, menandai pembalikan arah setelah sesi sebelumnya sempat menguat masing-masing 0,9% (Brent) dan 1% (WTI).
Dalam laporan terbarunya, IEA memperkirakan pasar minyak global akan menghadapi kelebihan pasokan sekitar 4 juta barel per hari pada 2026, seiring dengan peningkatan produksi dari negara-negara anggota OPEC+ dan produsen non-OPEC lainnya. Kondisi ini diperkirakan akan memperpanjang fase tekanan harga di pasar minyak dunia, terutama jika permintaan global belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang kuat.
Lesunya permintaan energi dipicu oleh perlambatan ekonomi di China serta ketidakpastian kebijakan perdagangan global. Sementara itu, produksi dari Amerika Serikat, Rusia, dan beberapa negara Timur Tengah justru meningkat signifikan, memperlebar kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan.
Berbeda dengan IEA, Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) melalui laporan bulanan yang dirilis Senin (13/10/2025) menilai prospek pasar minyak masih cukup positif. OPEC memproyeksikan defisit pasokan akan berkurang pada 2026, seiring dengan rencana peningkatan produksi yang tetap berjalan sesuai jadwal dan potensi pemulihan permintaan energi global.
BACA JUGA:
Harga Emas Antam Naik Rp23.000 per Gram: Rabu (15/10/2025)
IHSG Dibuka Menguat: WIFI dan ARCI Jadi Pendorong Indeks
Harga Minyak Dunia Menguat, Usai Kepastian Pertemuan Trump–Xi Jinping
Namun, para pelaku pasar menilai bahwa keseimbangan antara proyeksi IEA dan OPEC masih sulit dicapai dalam jangka pendek. Sejumlah eksekutif perusahaan minyak besar memperkirakan bahwa pasar minyak mungkin kembali mengetat dalam jangka menengah hingga panjang, setelah melewati fase pelemahan sementara akibat lonjakan pasokan saat ini.
Selain faktor pasokan, ketegangan antara AS dan China juga menjadi tekanan tambahan bagi harga minyak. Konflik dagang yang berlarut-larut dikhawatirkan akan membebani aktivitas industri dan memperlambat pemulihan ekonomi China—konsumen minyak terbesar kedua di dunia.
“Ketegangan terbaru antara AS dan China menjadi faktor penekan harga minyak karena berpotensi membebani perekonomian China jika situasi terus memanas,” ujar Dennis Kissler, Wakil Presiden Senior Bidang Perdagangan di BOK Financial.
Sementara itu, Giovanni Staunovo, analis komoditas dari UBS, menilai bahwa pasar sedang berada dalam mode risk-off, di mana investor lebih memilih aset aman dan menghindari risiko akibat laporan IEA yang negatif serta meningkatnya ketidakpastian global.
Di tengah tekanan pasar, secercah harapan datang dari rencana pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di Korea Selatan bulan ini, sebagaimana disampaikan oleh Menteri Keuangan AS Scott Bessent. Pertemuan ini diharapkan dapat meredakan ketegangan perdagangan serta membuka peluang bagi stabilisasi pasar komoditas, termasuk minyak.
KOMENTAR