Harga Minyak Dunia Kembali Turun: Paket Stimulus China Tak Sesuai Ekspektasi Pasar
Jakarta, Inakoran
Harga minyak dunia kembali mengalami penurunan, dipicu oleh berkurangnya ancaman gangguan pasokan di AS dan ketidakpuasan pasar terhadap paket stimulus ekonomi dari China. Pasar berharap stimulus dari China bisa mendongkrak permintaan minyak global, namun kenyataannya tak sesuai ekspektasi sehingga berdampak negatif pada harga minyak.
Pada Senin (11/11), harga minyak mentah Brent tercatat turun 31 sen (0,4%) menjadi US$ 73,56 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) turun 38 sen (0,5%) ke level US$ 70 per barel pada pukul 03.40 GMT. Keduanya mencatatkan penurunan lebih dari 2% sejak hari Jumat sebelumnya.
Turunnya harga minyak ini sebagian besar disebabkan oleh melemahnya kekhawatiran terhadap ancaman pasokan minyak dari Teluk Meksiko di AS, yang sebelumnya terganggu akibat badai Rafael. Meski lebih dari 25% produksi minyak dan 16% produksi gas alam di Teluk Meksiko masih belum aktif, perusahaan seperti Shell dan Chevron sudah mulai mengembalikan pekerjanya ke anjungan untuk melanjutkan operasi.
BACA JUGA:
Rekomendasi Saham Pilihan: Senin, 11 November 2024
Menko PMK Dorong Inovasi Layanan Kesehatan berbasis Digital
Donald Trump Menang, Harga Minyak Langsung Terbang
Harga Minyak Dunia Turun: Pasar Cermati Kebijakan Luar Negeri Donald Trump
Paket stimulus yang diumumkan oleh pemerintah China dalam pertemuan komite tetap Kongres Rakyat Nasional (NPC) ternyata tidak memenuhi harapan pasar. Investor global semula berharap bahwa stimulus ini akan memberi dorongan signifikan pada konsumsi domestik, khususnya pada sektor energi. Namun, pemerintah China hanya menawarkan langkah-langkah terbatas, terutama untuk sektor perumahan dan konsumsi.
Analis pasar dari IG, Tony Sycamore, menjelaskan bahwa kebijakan tersebut mengindikasikan stimulus berskala kecil, bukan dorongan besar yang bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi China. Hal ini sejalan dengan pandangan analis dari ANZ yang menyebutkan bahwa pemerintah China tampaknya ingin lebih berhati-hati dalam menerapkan kebijakan fiskal, menunggu hasil dari kebijakan baru di bawah pemerintahan AS berikutnya.
China selama ini dikenal sebagai pendorong utama pertumbuhan permintaan minyak global. Namun, pada 2024, konsumsi minyak di negara tersebut diprediksi tidak akan meningkat secara signifikan. Perlambatan ekonomi China, berkurangnya permintaan bensin seiring pertumbuhan kendaraan listrik, serta beralihnya penggunaan bahan bakar truk dari diesel ke gas alam cair telah mengurangi permintaan minyak di negara ini. Hal ini berdampak besar pada pasar minyak global, mengingat peran China sebagai konsumen minyak terbesar.
Dengan paket stimulus yang dinilai kurang memadai, pasar kini mengalihkan perhatian ke pertemuan Politbiro dan Konferensi Kerja Ekonomi Pusat China pada Desember mendatang. Dalam pertemuan tersebut, diharapkan pemerintah China akan mengumumkan kebijakan yang lebih pro-konsumsi dan mampu menstimulasi perekonomian secara signifikan.
Di sisi lain, ketidakpastian mengenai kebijakan ekonomi di bawah Presiden terpilih AS Donald Trump menambah kerumitan prospek harga minyak global. Trump diperkirakan akan memperketat sanksi terhadap negara produsen minyak seperti Iran dan Venezuela, yang dapat mengurangi pasokan minyak di pasar global. Hal ini sempat membuat harga minyak naik lebih dari 1% minggu lalu.
Meskipun ketidakpastian global meningkat, harga minyak masih didukung oleh permintaan yang kuat dari industri penyulingan di AS. Banyak kilang diprediksi akan beroperasi di atas 90% dari kapasitas pemrosesan minyak mentahnya, mengingat rendahnya persediaan dan meningkatnya permintaan untuk bahan bakar bensin dan solar di AS. Menurut pakar industri, situasi ini akan terus memberi dukungan pada harga minyak dunia, meskipun prospeknya tetap bergantung pada perkembangan kebijakan global.
KOMENTAR