Harga Minyak Dunia Terkoreksi: Permintaan AS Melemah

Sifi Masdi

Friday, 12-09-2025 | 12:04 pm

MDN
Ilustrasi kilang minyak [ist]

 

 

Jakarta, Inakoran

Harga minyak dunia kembali tertekan pada perdagangan Jumat (12/9/2025) setelah laporan terbaru Badan Energi Internasional (IEA) memicu kekhawatiran kelebihan pasokan (oversupply) di tengah melemahnya permintaan dari Amerika Serikat (AS).

 

Mengutip Reuters, harga minyak berjangka Brent turun US$1,12 atau 1,7% menjadi US$66,37 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) melemah lebih dalam, yakni US$1,30 atau 2,0% ke posisi US$62,37 per barel.

 

Dalam laporan bulanannya, IEA memperkirakan pasokan minyak global akan meningkat lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini seiring dengan rencana OPEC+ yang dipimpin Arab Saudi dan Rusia untuk menaikkan produksi mulai Oktober mendatang.

 

“Harga minyak jatuh karena laporan IEA yang pesimistis, mengindikasikan pasar berpotensi mengalami kelebihan pasokan besar pada tahun depan,” jelas Carsten Fritsch, analis Commerzbank, dikutip Bloomberg.

 


BACA JUGA:

Kebijakan Menkeu Tempatkan Dana Pemerintah Rp 200 Triliun ke Bank BUMN Tuai Pro dan Kontra

IHSG Dibuka Menghijau di Level 7.800

Harga Emas Antam Turun Rp7.000 per Gram: Jumat (12/9/2025)


 

Di sisi lain, OPEC tetap mempertahankan proyeksi permintaan minyak global tahun ini, dengan alasan kebutuhan pasar masih stabil meski adanya tambahan produksi.

 

Menurut Tamas Varga, analis PVM Oil Associates, pasar kini terpecah antara dua sentimen. Pertama, kekhawatiran defisit pasokan akibat eskalasi ketegangan di Timur Tengah dan Ukraina. Kedua, potensi surplus pasokan akibat kebijakan produksi OPEC+ dan meningkatnya stok minyak global.

 

Ekspor minyak Arab Saudi ke China diperkirakan melonjak tajam pada Oktober menjadi 1,65 juta barel per hari, naik dari 1,43 juta barel per hari pada September. Namun, muncul pertanyaan sejauh mana China mampu menyerap pasokan tersebut di tengah upaya menjaga stok rendah di negara-negara OECD.

 

Rusia, produsen minyak terbesar kedua dunia setelah AS, menghadapi penurunan pendapatan ekspor minyak mentah dan produk olahan pada Agustus—salah satu level terendah sejak konflik Ukraina pecah. Kondisi ini diperburuk oleh potensi sanksi lanjutan dari AS dan Uni Eropa.

 

India, sebagai salah satu pembeli utama minyak Rusia, juga mulai mengetatkan aturan. Adani Group, operator pelabuhan swasta terbesar di India, melarang kapal tanker yang terkena sanksi Barat untuk berlabuh. Kebijakan ini berisiko mengganggu pasokan minyak Rusia ke dua kilang besar India.

 

Dari sisi makroekonomi, inflasi konsumen AS pada Agustus tercatat sebagai yang tertinggi dalam tujuh bulan terakhir, terutama dipicu kenaikan biaya perumahan dan pangan. Namun, melonjaknya klaim pengangguran mingguan memperkuat ekspektasi bahwa The Federal Reserve akan memangkas suku bunga pada pekan depan. Langkah ini berpotensi mendukung pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan permintaan energi.

 

Di Eropa, Bank Sentral Eropa (ECB) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan sesuai perkiraan. Meski begitu, investor menilai perekonomian Eropa masih membutuhkan stimulus tambahan di 2026, meskipun ruang pemangkasan suku bunga lanjutan mulai terbatas.

 

Kombinasi antara potensi oversupply dari OPEC+, pelemahan permintaan di AS, dan ketidakpastian geopolitik global membuat pasar minyak berada dalam kondisi rentan. Ke depan, arah harga minyak akan sangat dipengaruhi oleh kebijakan produksi negara produsen utama, daya serap pasar China, serta perkembangan sanksi terhadap Rusia.

 

 

 

 

 

KOMENTAR