Harga Minyak Dunia Turun Tipis Usai Kesepakatan Damai Israel–Hamas

Sifi Masdi

Friday, 10-10-2025 | 10:51 am

MDN
Ilustrasi kilang minyak [ist]

 

 

Jakarta, Inakoran

Harga minyak dunia bergerak melemah pada penutupan perdagangan Kamis (9/10/2025), setelah muncul kabar positif mengenai kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan kelompok Hamas di Gaza. Langkah ini menjadi fase awal dari inisiatif perdamaian yang diusung Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengakhiri konflik berkepanjangan di Timur Tengah.

 

Kontrak berjangka minyak Brent ditutup turun 1,6% atau US$1,03 menjadi US$65,22 per barel. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) Amerika Serikat turun 1,7% atau US$1,04 ke posisi US$61,51 per barel.

 

Penurunan ini menandai fase koreksi setelah harga sempat menguat lebih dari 1% sehari sebelumnya. Investor tampaknya mulai menyesuaikan posisi mereka setelah adanya tanda-tanda meredanya ketegangan geopolitik di kawasan produsen minyak utama dunia tersebut.

 

Dalam perjanjian yang diumumkan pada Kamis malam waktu setempat, Israel sepakat menghentikan operasi militer dan menarik sebagian pasukan dari Gaza. Sebagai imbalannya, Hamas akan membebaskan seluruh sandera yang ditahan sejak awal konflik, dengan pertukaran ratusan tahanan Palestina yang berada di penjara Israel.

 

Menurut Dennis Kissler, Wakil Presiden Senior Trading di BOK Financial, “Pasar minyak kini memasuki fase korektif karena konflik Israel–Hamas tampaknya mulai berakhir.”

 


BACA JUGA:

IHSG Dibuka Melemah, BCA dan BBRI Jadi Penekan Indeks

Harga Emas Antam Turun Rp9.000 per Gram: Jumat (10/10/2025)

Harga Minyak Dunia Stabil, Investor Cermati Produksi OPEC+


 

Analis menilai, kesepakatan ini merupakan terobosan penting dalam sejarah Timur Tengah yang dapat membawa dampak luas bagi stabilitas energi global.

 

Claudio Galimberti, Kepala Ekonom di Rystad Energy, menyebut bahwa perdamaian ini bisa menurunkan risiko gangguan pasokan di kawasan. Di antaranya, berkurangnya serangan kelompok Houthi di Laut Merah dan meningkatnya peluang kesepakatan nuklir dengan Iran, yang selama ini menjadi salah satu faktor geopolitik paling sensitif dalam pasar energi.

 

Di sisi lain, OPEC+ baru saja mencapai kesepakatan untuk meningkatkan produksi minyak pada November, meskipun dengan volume yang lebih kecil dari perkiraan pasar. Keputusan ini dinilai mampu meredam kekhawatiran akan kelebihan pasokan di tengah permintaan global yang belum stabil.

 

Dari Amerika Serikat, dinamika politik dan fiskal turut memengaruhi sentimen pasar. Rencana anggaran dari Partai Demokrat dan Republik belum mendapat persetujuan penuh di Senat, memunculkan kekhawatiran akan potensi penutupan pemerintahan (government shutdown). Kondisi tersebut berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi dan melemahkan permintaan energi di negara konsumen minyak terbesar dunia itu.

 

Sementara itu, Washington juga mengumumkan sanksi baru terhadap sekitar 100 entitas—termasuk individu, perusahaan, dan kapal—yang terlibat dalam perdagangan minyak dan petrokimia Iran, di antaranya sebuah kilang independen serta terminal asal Tiongkok.

 

Dalam perkembangan lain, Perdana Menteri India Narendra Modi mengonfirmasi bahwa dirinya telah berbicara langsung dengan Presiden Trump untuk melanjutkan negosiasi dagang dalam beberapa pekan mendatang. Hubungan dagang kedua negara sempat memanas setelah AS menggandakan tarif impor barang India hingga 50% sebagai respons terhadap keberlanjutan impor minyak Rusia oleh New Delhi.

 

Prospek ke Depan

Dengan meredanya konflik di Gaza, pasar energi global mendapat sedikit angin segar dari sisi geopolitik. Namun, berbagai faktor lain seperti kebijakan produksi OPEC+, sanksi terhadap Iran, serta ketegangan dagang dan ketidakpastian ekonomi AS, masih akan menjadi sumber fluktuasi harga dalam jangka pendek.

 

Pasar kini menanti arah baru keseimbangan antara stabilitas politik global dan dinamika permintaan minyak, yang akan sangat menentukan pergerakan harga dalam beberapa pekan mendatang.

 

 

 

 

KOMENTAR