Harga Minyak Kembali Menguat: Dampak Sanksi Terhadap Rusia

Sifi Masdi

Thursday, 12-12-2024 | 09:59 am

MDN
Ilustrasi kilang minyak Rusia [ist]

 

 

 

Jakarta, Inakoran

Harga minyak mentah kembali menunjukkan tren penguatan, mencatat kenaikan selama empat hari berturut-turut. Kenaikan ini terjadi seiring dengan disetujuinya putaran sanksi tambahan oleh Uni Eropa yang berpotensi mengancam aliran minyak dari Rusia. Sanksi terbaru tersebut diyakini akan memperketat pasokan minyak mentah global, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi harga minyak di pasar internasional.

 

Pada hari Kamis, 12 Desember 2024, pukul 6.46 WIB, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak Januari 2025 di New York Mercantile Exchange naik 0,08% menjadi US$ 70,35 per barel. Kenaikan ini menyusul lonjakan harga sebesar 2,48% yang terjadi pada hari sebelumnya. Selama empat hari terakhir, harga minyak WTI telah mencatatkan total kenaikan sebesar 4,69%. Di sisi lain, harga minyak mentah Brent untuk kontrak Februari 2025 di ICE Futures juga mengalami kenaikan, mencapai $73,52 per barel setelah meningkat 1,84% kemarin, dengan akumulasi kenaikan 3,37% dalam tiga hari terakhir.

 

Para duta besar Uni Eropa pada Rabu lalu menyetujui paket sanksi ke-15 terhadap Rusia sebagai respons terhadap invasi Rusia ke Ukraina. Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, mengungkapkan sambutannya terhadap penerapan sanksi ini yang secara khusus menargetkan armada bayangan Rusia.

 

Armada ini berperan penting dalam membantu Rusia menghindari batasan harga US$ 60 per barel yang ditetapkan oleh G7 untuk minyak mentah Rusia yang diangkut melalui laut. Dengan adanya sanksi ini, diharapkan aliran minyak Rusia dapat dikendalikan, yang pada gilirannya dapat mendukung kenaikan harga minyak di pasar global.

 


 

BACA JUGA:

Rekomendasi Saham Pilihan: Kamis, 12 Desember 2024

Harga Emas di Pegadaian  Naik: Kamis, 12 Desember 2024

Harga Minyak Dunia Kembali Melonjak: Dampak Permintaan China yang Tinggi

Harga Minyak Naik 1%: Dampak Konflik Timur Tengah

 


 

John Kilduff, seorang mitra di Again Capital di New York, menyatakan, "Keseriusan baru tentang pembatasan aliran di sini berpotensi mendukung, dan mengimbangi metrik permintaan tradisional yang selama ini menjadi fokus kami." Pernyataan ini mencerminkan harapan bahwa sanksi dapat memberikan dampak signifikan terhadap pasokan minyak global.

 

Namun, di tengah kenaikan harga, terdapat data yang menunjukkan bahwa persediaan bensin dan sulingan di Amerika Serikat naik lebih dari yang diperkirakan, yang membebani harga minyak mentah. Badan Informasi Energi AS melaporkan bahwa peningkatan stok ini dapat menjadi indikator lemahnya permintaan di pasar domestik.

 

OPEC juga menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan pasar minyak. Mereka memangkas perkiraan untuk pertumbuhan permintaan minyak pada tahun 2024 dan 2025 untuk bulan kelima berturut-turut, dengan penurunan terbesar sejauh ini. Ini menunjukkan bahwa OPEC merasa kewalahan dalam menanggapi dinamika pasar yang terus berubah, terutama dengan adanya pertumbuhan pasokan dari negara-negara non-OPEC+.

 

Meski demikian, investor tetap optimis terhadap potensi peningkatan permintaan dari China. Pemerintah China baru-baru ini mengumumkan rencana untuk mengadopsi kebijakan moneter yang "cukup longgar" pada tahun 2025, yang pertama kali dalam 14 tahun terakhir.

 

Kenny Zhu, seorang analis riset di Global X, menyatakan, "Kami yakin stimulus moneter dan fiskal China akan menjadi poin data utama yang perlu diperhatikan untuk tahun mendatang."


 

KOMENTAR